BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DANIEL
DENNET
(1942- )
“Sebagian dari ide-ide paling indah dan dalam abad 20
berasal dari teknik,” kata filsuf Amerika Daniel Dennet dalam sebuah wawancara
tahun 2004. Memang, rasa hormat sepanjang hidupnya terhadap teknik dan desain
mungkin telah menjadi inspirasi bagi banyak teorinya tentang kesadaran, pikiran
dan alam semesta.
Dennet menghabiskan sebagian besar
masa kanak-kanaknya di Beirut, Lebanon, sebelum pindah ke Boston, AS. Dia
belajar filsafat di Harvard di bawah Quine, orang yang paling awal memberikan
pengaruh kuat terhadapnya, dan menerima gelar doktor filsafat di Oxford, tempat
dia diajar oleh filsuf bahasa Gilbert Ryle.
Sepanjang kariernya, Dennet menaruh
perhatian pada pertanyaan tentang bagaimana makna, desain dan moralitas muncul di
alam semesta yang dimulai sebagai suatu kehampaan yang tak berbentuk dan tak
bermakna. Dia mencari jawaban atas masalah ini tidak hanya dalam tulisan-tlisan
para filsuf lain, tetapi juga dalam bidang biologi evolusioner, ilmu kognitif
dan kecerdasan buatan.
Inti dari filsafat Dennet ialah ide
bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk kesadaran, berkembang dari
proses alami, bukan dari sesuatu yang bersifat supernatural. Tidak seperti
Descartes, dia tidak percaya pada suatu pikiran yang terpisah dan tak berbadan.
Dia mengatakan, segala aspek tentang diri kita, termasuk kepribadian dan
kecerdasan kita, dapat dijelaskan dengan memperhatikan teknik yang terlibat di
dalam otak kita.
Dennet menggambarkan otak sebagai
sebuah “mesin semantik”, suatu mekanisme yang dapat mengambil makna dari dunia.
Bagi banyak pengritiknya, kesadaran tidak dapat dijelaskan dari segi mekanistik
yang sederhana semacam itu. Jika dapat, maka struktur fisik masing-masing
neuron tentu dapat memperlihatkan bagaimana otak dapat berpikir dan mengambil
makna, sebagaimana struktur fisik DNA—helix ganda—mengungkapkan bagaimana ia
dapat meng-copy informasi. Dennet
tidak tertarik dengan isu ini. Menurut dia, yang penting bukanlah apa yang
membentuk otak (neuron) tetapi apa yang dilakukan otak—kerjanya sebagai mesin
semantik.
Dennet menolak gagasan kesadaran
sebagai sesuatu yang misterius. Jika sesuatu bertindak seolah-olah ia sadar,
maka kita tidak punya alasan untuk mengatakan bahwa ia tidak sadar. Dia
memprediksi bahwa seluruh perdebatan tentang kesadaran akan segera menjadi
kuno. Ketika komputer memasuki
bidang-bidang yang dulu merupakan bidang manusia—ketika mereka dapat melucu dan
menulis novel yang baik dan menjadi teman yang baik—akan makin sulit bagi para
filsuf untuk mempertahankan perbedaan antara makhluk “sadar” dan “tidak sadar”
ini.
Filsafat ini menempatkan Dennet
dengan kokoh di antara mereka yang melihat otak sebagai sesuatu yang tidak
lebih dari komputer canggih. Dia terkenal karena pandangannya yang ekstrem
tentang kecerdasan buatan, dengan mengatakan bahwa bahkan thermostat mempunyai
keyakinan tentang dunia. Di sini dia tidak mengatakan bahwa thermostat itu
sadar, melainkan bahwa perilakunya mengejawantahkan asumsi tentang dunia dan
ini tidak dapat dibedakan, dalam efeknya terhadap dunia, dari keyakinan.
Kembali ke pertanyaan pokok Dennet,
bagaimana suatu desain canggih semacam otak manusia itu muncul di alam semesta
yang pada mulanya tanpa makna dan desain? Untuk menjawab ini, Dennet berpaling
ke biologi evolusioner dan Darwinisme. Melalui teorinya tentang seleksi alam,
Charles Darwin mengungkap mekanisme dasar tentang terciptanya desain dari
kekacauan. Dari sudut pandang filsafat, Darwin memperlihatkan bahwa ini
dimungkinkan tanpa bantuan pikiran (seleksi alam yang ‘tanpa pikiran’), yang
menjawab pertanyaan lama John Locke tentang mana yang muncul lebih dulu,
pikiran atau materi?
No comments:
Post a Comment