Nama lengkapnya adalah Hasri Ainun Besari, namun kemudian lebih dikenal sebagai Ainun Habibie. Dia adalah perempuan yang selalu ada di hati Habibie yang kemudian dipersuntingnya. Perempuan yang lahir pada tanggal 11 Agustus 1937 di Semarang ini telah wafat pada tahun 2010 lalu. Beliau adalah salah satu sosok perempuan Indonesia yang layak dijadikan panutan oleh para perempuan di negara ini.
Kisah cinta Ainun-Habibie
dimulai kedua insan itu dengan penjajakan selama dua bulan, dan kemudian
menikah. Tentunya waktu dua bulan sangatlah cepat untuk kemudian memutuskan
menikah. Jadi apakah di antara keduanya tiba-tiba langsung jatuh cinta saat
itu? Ataukah mereka telah saling menyukai sedari lama?
Umur Habibie dan Ainun terpaut satu tahun. Habibie lebih tua
dari Ainun. Demikian halnya dengan sekolah, Habibie satu kelas lebih tinggi
dari Ainun. Habibie dan Ainun mengetahui satu dengan yang lain sedari mereka
duduk di bangku SMP. Tetapi mereka berbeda sekolah. Habibie bersekolah di SMP 5
Bandung, sedangkan Ainun di SMP 2 Bandung. Kedua sekolah itu letaknya
bersebelahan. Menurut Ainun, mereka telah saling “kenal mata” sejak SMP.
Lulus dari SMP 5, Habibie melanjutkan ke SMA Kristen di Jalan
Dago. Setahun kemudian, Ainun melanjutkan di sekolah yang sama. Di SMA, Ainun
terkenal sebagai siswi yang pandai di kelasnya, selain itu, dia manis dan
rupawan. Dia menarik perhatian banyak siswa pria. Ainun mendapatkan julukan “Si
Gula Jawa”.
Di bangku SMA mereka mulai saling memperhatikan. Habibie dan
Ainun memiliki kesamaan, yaitu paling muda dengan tubuh yang paling kecil di
kelas. Hal itu menyebabkan para guru sering menjodoh-jodohkan mereka, “itu lho
yang cocok buat kamu.”
Mungkin itu salah satu sebab sehingga Ainun mulai
memperhatikan Habibie. Ainun bahkan mengetahui kalau Habibie suka bersepatu
roda. Ainun sendiri menyatakan bahwa dirinya memperhatikan Habibie. Tetapi pada
masa itu, Habibie bukanlah satu-satunya yang menarik perhatian Ainun.
Sedangkan Habibie nampaknya menaruh perhatian kepada Ainun. Di
kelas Habibie, Ainun merupakan salah satu topik pembicaraan di antara
teman-temannya. Habibie sering berkomentar “Wah cakep itu anak, Si Item Gula
Jawa”. Selain itu, terdapat kejadian menarik yang menunjukkan adanya perhatian
Habibie kepada Ainun. Suatu hari, ketika Ainun sedang duduk dan berbincang
dengan temannya, Habibie menghampiri mereka. “Hei, kenapa sih kamu kok gendut
dan hitam?”, demikian kata-kata Habibie yang ditujukan untuk Ainun. Tentunya
ini pertanyaan yang mengejutkan, mengingat mereka bukanlah teman. Ucapan
Habibie itu tak pernah dilupakan Ainun.
Ainun sendiri memang memiliki kegemaran berolah raga. Seperti soft
ball, volley, dan berenang. Kiranya itu yang membuat kulitnya menjadi agak
hitam. Selain itu, Ainun suka makan, sehingga badannya berisi.
Hubungan antara Habibie dan Ainun sewaktu SMA memang hanya
sebatas itu. Mereka tidak pernah lebih dekat, apalagi berpacaran. Setelah lulus
SMA, Habibie melanjutkan kuliah, dan kemudian pindah ke Jerman. Tentunya
kemungkinan hubungan mereka berdua menjadi sangat kecil atau bahkan tak ada.
Orang bilang kalau jodoh tidak akan kemana. Nampaknya
kata-kata itu sesuai untuk mereka berdua. Setelah Habibie memperoleh gelar
sarjananya, dia masih melanjutkan studi di Jerman. Teman-temannya mulai
memikirkan agar dia segera menikah, demikian halnya dengan Ibu Habibie. Pada
tahun 1962 Habibie mengambil cuti untuk pulang ke Indonesia. Tujuan
kepulangannya adalah untuk mengunjungi makam ayahnya di Ujung Pandang. Nampaknya
tujuan Habibie pulang tidak sekedar itu, tetapi juga terkait masalah pasangan
hidup. Pada suatu kesempatan Habibie mengatakan kepada Achmad Tirtosudiro bahwa
ibunya memanggil pulang karena harus menikah. Keluarga Habibie di Bandung sepertinya
juga telah merencanakan hal tersebut.
Walau Habibie dan Ainun hanya tahu satu dengan yang lain
tetapi tidak saling mengenal, tetapi ada dugaan bahwa calon pasangan yang
dipersiapkan untuk Habibie adalah Ainun. Kemungkinan Habibie juga mengetahui
hal tersebut. Kepada Achmad Tirtosudiro Habibie menyatakan bahwa dirinya telah
mengenal calon istrinya sejak lama, dan saat itu Ainun telah menjadi dokter.
Habibie juga mengungkapkan bahwa calon istrinya cantik, tetapi Habibie tidak
memiliki ongkos untuk pulang. Jika memang hal tersebut telah direncanakan,
nampaknya merupakan inisiatif keluarga Habibie. Sebab, Ny. M.S. Mohamad Besari,
ibu dari Ainun mengungkapkan bahwa maksud kepulangan Habibie adalah untuk
mengunjungi makam ayahnya. Beliau tidak menyebutkan soal mencari pasangan hidup
atau perjodohan dengan Ainun. Sedangkan Ibunda Habibie pernah menuturkan kepada
Ainun tentang Habibie yang telah memperoleh gelar insinyur, dan keinginannya
agar Habibie pulang ke Indonesia sebelum melanjutkan promosi doktornya. Siapa
tahu dalam kepulangannya itu, Habibie akan mendapatkan jodoh, demikian harapan
ibunya.
Terikatnya hubungan Habibie dan Ainun, tidak lepas dari
keberadaan Fany Habibie yang merupakan teman Ainun sejak di SMA Kristen.
Hubungan pertemanan antara Fany dan Ainun nampaknya cukup dekat, mereka saling
kunjung mengunjungi, sehingga antara keluarga mereka pun menjadi dekat.
Habibie sampai di Bandung pada hari Rabu pukul 15.00 WIB. Sore
harinya, pada pukul 17.00 WIB, Fany Habibie hendak mengunjungi Ibunda Ainun. Saat
itu rumah keluarga Ainun memang dekat dengan rumah keluarga Habibie di Jalan
Imam Bonjol, Bandung. Sebelumnya, keluarga Ainun tinggal di Jalan Ciumbuluit,
tetapi mereka telah pindah ke Jalan Ranggamalela No. 21 Bandung. Habibie
terkejut, sebab tidak mengetahui bahwa mereka pindah rumah. Dia kemudian
memutuskan ikut adiknya ke rumah keluarga Ainun.
Sesampainya di rumah keluarga Ainun, Fany segera menuju dapur,
untuk menemui Ibunda Ainun. Sedangkan Habibie menunggu di dalam mobil. Di dalam
rumah, Fany asyik mengobrol dengan Ibunda Ainun yang tengah memasak untuk
Lebaran esok hari.
Karena Fany tidak kunjung keluar, Habibie memutuskan untuk
menyusulnya masuk. Tetapi yang dia dapati bukanlah adiknya, melainkan Ainun.
Pertemuan keduanya terjadi di ruang makan. “Kok gula Jawa sudah jadi gula
pasir”, demikian sapaan Habibie. Ainun mengungkapkan bahwa saat itu muncul
perasaan untuk Habibie. Tetapi dia menduga bahwa mungkin perasaan itu telah ada
dan terpendam sejak dulu.
Habibie akhirnya menemukan Fany di dapur. Dia kemudian
berbincang dengan Ibunda Ainun. Karena datang tamu dari jauh, Ibunda Ainun
mempersilahkan mereka berdua untuk duduk di ruang makan, bersama dengan
Ayahanda Ainun dan juga Ainun. Pada kesempatan itu Ainun dan Habibie
diperkenalkan secara “resmi”. Karena hari telah malam, Fany dan Habibie pulang.
Tetapi Ibunda Ainun mengundang mereka untuk makan siang pada hari Lebaran esok.
Hanya Habibie yang datang memenuhi undangan makan siang itu.
Setelah makan dan berbincang sebentar, Habibie kemudian pulang. Yang tak
terduga, pada sore harinya, Ainun dan Habibie pergi berdua untuk menonton film.
Ainun saat itu sudah bekerja di Kedokteran Anak FKUI.
Keberadaannya di Bandung yang akhirnya membuatnya bertemu Habibie, adalah
karena Ainun sempat jatuh sakit dan mendapatkan cuti dari tempatnya bekerja.
Habibie rupanya bergerak cepat. Mereka bertemu hari Rabu, dan
hari Kamis sore mereka nonton film berdua. Sedang hari Jum’at, Ainun kembali ke
Jakarta, sebab, dia harus bekerja kembali pada hari Sabtu. Dalam pertemuan yang
pendek dan singkat itu, keduanya kemudian berpacaran. Sebagaimana pengakuan
Ainun, di Bandung itu mereka telah berpacaran. Menghabiskan malam hari berdua,
naik becak dengan jok tertutup sekalipun hari tidak hujan. Menurut Ir. Harsono
D. Pusponegoro, setelah jatuh cinta pada Ainun, Habibie kemudian mengajukan
pertanyaan apakah dirinya ada kesempatan, sebab kalau tidak ada kesempatan,
Habibie tak perlu membuang waktu untuk merayu.
Hubungan keduanya berlanjut di Jakarta. Ainun tinggal di
Asrama Jalan Kimia Jakarta, yang terletak di belakang Rumah Sakit Umum Dr.
Ciptomangunkusumo. Di Jakarta, Habibie tinggal di rumah kakaknya yang terletak
di Jalan Mendut, cukup dekat dengan tempat Ainun. Habibie sering menjemput
Ainun pulang dari kerja. Jika tidak, Habibie akan menunggu Ainun di rumah.
Nampaknya Habibie benar-benar jatuh cinta pada Ainun. Kepada
Leila Z. Rachmantio—teman Habibie di Jerman yang kemudian menyusul Habibie
pulang ke Indonesia—pernyataan yang pertama kali diungkapkan Habibie adalah bahwa
dirinya jatuh cinta. Leila kemudian dikenalkanya dengan Ainun. Demikian halnya
tatkala bertemu dengan Sudjana Sapiie, Habibie sangat antusias, dan pernyataan
yang pertama kali diucapkan adalah bahwa dirinya akan menikah.
Hubungan mereka memang berlanjut ke tahap selanjutnya.
Keluarga Habibie datang sekitar tiga minggu kemudian untuk melamar Ainun. Bulan
Mei mereka menikah. Liburan Habibie yang dua bulan pun kemudian diperpanjang
menjadi tiga bulan. Setelah menikah mereka kemudian berbulan madu ke Yogyakarta
dan Bali, dilanjutkan dengan ziarah ke makam ayah Habibie di Ujung Pandang.
Hubungan keduanya sangat mesra, bahkan di depan
teman-temannya. Leila Z. Rachmantio beberapa kali melihat Habibie menggendong
Ainun, juga ketika turun dari dokar. Keberhasilan Habibie meminang Ainun
berarti patahnya hati pria-pria yang mengincar Ainun. Sebab, Ainun memang disukai
banyak pria. Dia terkenal sebagai gadis yang cantik, pandai, apalagi dia
berprofesi sebagai dokter. Sewaktu duduk di bangku kuliah Ainun terkenal
sebagai Miss Universitas Indonesia, atau mahasiswa teladan, Ainun juga
cantik dan menarik. Tak heran jika banyak pria yang menyukainya. Pernikahan
Habibie dan Ainun merupakan kabar yang menggegerkan bagi dunia jejaka di
Jakarta dan Bandung.
Selepas berbulan madu dan berziarah ke Ujung Pandang, maka
masa cuti Habibie pun segera habis. Mendekati hari kembalinya ke Jerman,
Habibie mengatakan kepada Ibunda Ainun bahwa Ainun harus ikut bersamanya ke
Jerman. Menyusul keputusan untuk mengikuti Habibie ke Jerman, Ainun segera
mengurus cutinya. Prosedur mulai dari
Dekan Fakultas Kedokteran, Rektor Universitas Indonesia, Menteri Riset Nasional,
sampai ke menteri PTIP. Mereka berangkat ke Jerman dengan berbekal
masing-masing satu koper.
Di Jerman, teman-teman Habibie tak sabar bertemu perempuan
yang diboyongnya. Mereka menunggu kedatangan pengantin baru ini di Dusseldorf.
Keduanya kemudian tinggal di Aachen, dengan menyewa sebuah paviliun tiga kamar.
Dalam kehidupan sehari-hari, Ainun dibantu seorang pembersih rumah. Ainun
sedari kecil sudah diajari bagaimana mengurus rumah tangga, jadi, tatkala tidak
menggunakan jasa pengurus rumah tangga, dia tidak merasa berat menjadi seorang
istri yang tinggal di negeri orang.
Setelah kehamilan Ainun memasuki usia empat bulan, mereka
kemudian memutuskan untuk pindah rumah. Paviliun yang mereka sewa dirasa
terlalu kecil ketika anak mereka lahir nanti. Mereka pindah ke sebuah rumah
susun di luar Aachen, yaitu di Oberforstbach. Di sana, Ainun mulai merasakan
beratnya hidup, sebabnya adalah rasa sepi. Oberforstbach merupakan sebuah desa
dengan transportasi yang jarang. Untuk menuju Aachen, harus menggunakan bus
yang hanya ada pada pagi dan sore hari. Ainun mengungkapkan bahwa tinggal di
Oberforstbach seolah jauh dari segala-galanya, dari keluarga, ataupun teman.
Ainun kesepian, tak ada yang bisa diajaknya berbincang. Hanya
Habibie. Tetapi Habibie pulang larut malam, sebab dia harus bekerja sekaligus
menyelesaikan program doktornya. Penghasilan Habibie pas-pasan, tetapi dia
tetap bekerja dengan keras. Setengah hari dia bekerja sebagai asisten pada Institut
Konstruksi Ringan dari Universitas. Untuk pekerjaan itu, Habibie mendapatkan
setengah gaji seorang Diplom Ingeniur. Mereka juga mendapatkan uang enam
ratus DM dari DAAD, yaitu Dinas Beasiswa Jerman. Habibie juga mencuri-curi
waktu untuk bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api, dengan
pekerjaan mendesain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan.
Waktu menjadi demikian berharga, dan harus diatur dengan
ketat. Pagi-pagi Habibie bekerja di pabrik. Dilanjutkan bekerja di Universitas
sampai malam. Habibie sampai di rumah sekitar pukul 22.00-23.00. tetapi bukan
berarti Habibie bisa beristirahat, dia mengerjakan disertasinya pada malam
hari.
Masa-masa itu merupakan kala prihatin bagi keluarga muda itu.
Habibie naik bis untuk kemana-mana. Karena kurangnya uang untuk membeli kartu
langganan bulanan, tiga kali dalam seminggu Habibie harus berjalan kaki
mengambil jalan pintas sejauh lima belas kilometer. Akibatnya sepatu Habibie
berlubang, yang kemudian ditambal saat menjelang musim dingin.
Mereka hidup prihatin dan sederhana. Pengeluaran meningkat,
sebab mereka juga menabung, membayar asuransi kesehatan bagi wanita hamil yang
cukup mahal. Sebagai istri, Ainun melakukan penghematan. Pekerjaan rumah tangga
dilakukannya sendiri. Dia belajar menjahit, memperbaiki pakaian dan barang yang
rusak, membuat pakaian bayi, merajut, dan membuat pakaian untuk menghadapi
musim dingin. Keluarga muda ini kemudian membeli mesin jahit dengan cicilan
yang lunas satu setengah tahun kemudian. Anak pertama mereka lahir pada tanggal
16 Mei 1963 di Aachen, Jerman, dengan nama Ilham Akbar, yang berarti ilham
besar. Nama tersebut sebagai penanda ketika Habibie memperoleh tema bagi tesis
doktornya.
Sekalipun hidup prihatin, Ainun justru “mensyukuri” keadaan
itu. Dia mengambil hikmah. Belajar berdikari, belajar menggunakan waktu dengan
baik. Mengatur menu sehat dan murah. Mengurus anak dan suami. Sebagai istri,
dia berusaha membuat suasana rumah yang nyaman, mengurus permasalahan rumah
tangga tanpa mengganggu Habibie. Dia melakukan semua itu agar Habibie fokus
pada pekerjaan dan tugas-tugasnya. Walau begitu, Habibie juga menyempatkan
untuk membantu Ainun, misalnya mencuci piring atau mencuci popok.
Sekalipun hidup sederhana dan pas-pasan, Ainun tidak
memutuskan untuk bekerja. Ketimbang membayar jasa seorang pengasuh dan
menjalani karir sebagai seorang dokter, Ainun memilih untuk menjadi ibu rumah
tangga dan membesarkan anaknya sendiri. Ainun tidak ingin anaknya “kehilangan”
orang tua hanya karena masalah materi dan kepuasan pribadi. Keputusan Ainun itu
kiranya adalah sebuah titik atau landasan bagi Ainun untuk menjalani hidup yang
serba sederhana dan pas-pasan itu.
Kala prihatin itu mereka lalui selama tiga setengah tahun. Pada
1965 Habibie meraih gelar Dr. Ing. Kehidupan mereka mulai membaik. Habibie
mendapatkan pekerjaan di Hamburg. Gaji yang bertambah membuat mereka mampu
membeli mesin cuci. Tetapi karena mereka belum pindah rumah ke Hamburg, maka
selama tiga bulan, Habibie harus pulang pergi Aachen-Hamburg. Di tengah
rutinitas itu Habibie mulai mencari rumah.
Kesibukan
Habibie meningkat, waktu untuk sang anak harus dicari-cari. Sedangkan Ainun
harus menyesuaikan dengan berbagai hal, ritme baru, dan sebagai pendamping
suami plus profesi suami. Ainun menyadari, bahwa dirinya sebagai istri juga
harus mengimbangi dan mengikuti (perkembangan) suaminya.
Anak
kedua mereka, Thareq, lahir di Hamburg. Kebutuhan mereka meningkat, dan rencana
selanjutnya adalah membeli rumah. Keputusan itu disebabkan mereka belum
mengetahui berapa lama lagi mereka harus hidup di rantau. Saat Thareq berusia
empat tahun, Ainun memutuskan untuk bekerja. Hal ini kiranya lumrah bagi
seorang Ainun yang berpendidikan tinggi dan profesional. Penghasilan Ainun
bahkan hampir mengimbangi penghasilan Habibie. Dengan penghasilan keduanya,
mereka mampu membeli tanah dan rumah di Kakerbeck yang jauh dari keriuhan kota.
Ainun
hanya bekerja sekira dua tahun. Thareq sakit keras pada usia enam tahun. Hal
itu membuat Ainun memutuskan untuk kembali mengutamakan anak dan keluarganya,
ketimbang kepuasan profesional dan penghasilan yang tinggi.
Sejarah
menunjukkan betapa Habibie dan Ainun adalah pasangan yang penuh cinta kasih.
Ainun sendiri menyatakan bahwa hidup dengan Habibie tidaklah mudah. Sebab,
Habibie menuntut banyak, tetapi Habibie
juga memberikan segala-galanya. Kiranya Ainun adalah perempuan yang luar biasa.
Bagi Ainun, kala prihatin selama tiga setengah tahun di Oberforstbach menciptakan
kebahagiaan tersendiri. Keluarga kecil mereka menjadi erat dan saling memahami.
Hidup sederhana dan pas-pasan itu menjadi dasar terbentuknya kebahagiaan hidup
mereka. Segala suka dan duka yang dilewati membentuk saling pengertian,
membantu, dan berkorban. Mereka semakin menyatu jiwa dan raga, saling memiliki
masing-masing.
Sumber: Buku: True Spirit Habibie
Penulis:
A. Novi
Penerbit: Lamafa Publika
No comments:
Post a Comment