Al-Mawardi, Ahli politik dan Hukum Islam
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi yang
di Timur dipanggil Al-Mawardi dan di Barat dikenal sebagai Alboacen (972-1058 M). Dia adalah
seorang ahli hukum Islam Kurdi bermazhab Syafi’iah yang karya-karyanya tentang
agama, pemerintah, khalifah dan hukum konstitusional masih dipelajari hingga
kini.
Di
samping sebagai ilmuwan, Al-Mawardi berprofesi sebagai kepala hakim selama
beberapa waktu di kabupaten Khurasani dekat Nishapur dan juga menjadi
hakim di Baghdad. Selain itu, Al-Mawardi juga menjabat sebagai diplomat Dinasti
Abbasiyah pada waktu pemerintahan khalifah Al-Qa’im dan khalifah Al-Qadir.
Karyanya yang paling
terkenal adalah Al-Ahkam al-Sultaniyya
w'al-Wilayat al-Diniyya, yang memberikan definisi serta penjelasan yang
sangat rinci tentang fungsi pemerintah kekhalifahan.
A.
Riwayat
Hidup dan Pendidikannya
Al-Mawardi
lahir di Basrah pada tahun 972 M. Sejarawan hukum Islam, al-Khatib
al-Baghdadi (w. 463/1072) mengatakan bahwa ayah Al-Mawardi adalah penjual air mawar
di pasar. Keluarga Al-Mawardi hidup sederhana. Masa kecilnya serba kekurangan,
karena kebutuhan harian keluarganya hanya bergantung pada hasil penjualan air
mawar ayahnya yang tidak seberapa itu. Namun meski demikian, orang tua
Al-Mawardi sangat mencintai ilmu, terutama ilmu-ilmu Islam. Mereka bercita-cita
kelak anaknya Al-Mawardi menjadi seorang ahli ilmu yang bermanfaat bagi orang
banyak dan kekokohan umat Islam.
Pada mulanya
orang tuanya mendorong Al-Mawardi untuk belajar fiqih kepada Syiekh Abu
al-Wahid al-Simari di Baghdad. Sehingga karenanya Al-Mawardi pun tinggal
di Baghdad. Setelah selesai belajar kepada Syiekh Abu al-Wahid
al-Simari, ia kemudian pergi untuk studi lanjutan di bawah Syeikh Abd al-Hamid
dan Abdallah al-Baqi. Di antara siswa-siswa lainnya, Al-Mawardi dikenal paling
mahir dalam etika, yurisprudensi, ilmu politik dan sastra – sesuatu yang terbukti
bermanfaat dalam karirnya kelak.
Kala itu, Basrah
dan Baghdad merupakan pusat mazhab Mu’tazilah. Oleh karenanya, kelak ahli fiqih
Syafi’iah, Imam al-Subki (w. 1355) mengutuk al-Mawardi karena simpatinya kepada
Mu’tazilah. Para pengkajinya menyatakan bahwa Al-Mawardi adalah seorang yang
rendah hati, fasih dan antusias dalam menyambut orang lain. Barangkali
karena sikapnya yang demikian itulah sehingga kelak banyak orang mengklaim
Al-Mawardi dekat dengan orang-orang Mu’tazilah yang menolah tradisi fiqih
Syafi’iah.
Terlepas dari
polemik teologis yang berkembang pada zamannya, Al-Mawardi dikenal sebagai “tokoh
berprofil tinggi”. Sehingga oleh karenanya, ia akhirnya ditunjuk sebagai
qadhi al-Quzat di Ustuwa sebuah distrik di Nishabur. Pada 429 H ia dinaikkan
kejabatannya ke tingkat paling tinggi Aqb al-Quzat atau kepala kadi atau ketua
Mahkamah Agung di Baghdad, dan kemudian jabatan ini tetap dipercayakan kepadanya
meski khalifah sedang diganti dan Al-Mawardi dipindah ke Khurasan. Jabatan ini
dipegang oleh Al-Mawardi hingga ia wafat.
Selain kadi, ia
pun diangkat menjadi diplomat. Sepanjang hidupnya, empat kali ia melakukan
diplomasi atas nama Khalifah Al-Qa’im dan penggantinya Khalifah Al-Qadir. Dalam
melakukan tugasnya, Al-Mawardi sering dianugerahi berbagai hadiah berharga.
Menurut Jalal-ud-Dawlah Al-Mawardi melampaui orang-orang lain sederajatnya
dalam kekayaan.
Salah satunya
ia pernah diutus untuk sebuah negosiasi dengan pemimpin Seljuk Buwahid yang
memberinya hadiah dan memaksa Al-Mawardi untuk menulis sebuah risalah tentang “Tata
Cara Pemerintah”. Di antara banyak karyanya yang lain dia juga mengatakan
menuliskannya dalam keadaan darurat, yaitu keadaan yang tidak boleh tidak ia
harus menulis. Al-Mawardi meninggal dunia dalam usia tua (86 tahun) di
Baghdad pada tanggal 27 Mei 1058. Jenazahnya
dimakamkan di pemakaman Bab Harb dan dishalati oleh muridnya, al-Imam al-Khatib
al-Baghdadi.
B.
Pemikiran dan Karyanya
Sebagai
eksponen Madzhab syafi’ie, Al-Mawardi adalah seorang ahli hadits terkemuka.
Sayang sekali tak ada karyanya mengenai persoalan ini yang masih tersimpan. Tak
diragukan bahwa sejumlah hadits darinya telah dikutip dalam dua karyanya yang
terkenal, Ahkam us-Sultaniya A’lam
Nubuwat dan Adab ud Dunya wad-Din.
Pegangannya pada hadits tidak bersifat kaku, terutama dalam A’lam un- Nubuwat. Keterangannya tentang
perbedaan antara mukjizat dan sihir dalam pengertian sabda-sabda Nabi menurut
Tsah Kopruizadah adalah yang “riwayat terbaik sampai masa itu”.
Sebagai seorang
penasehat politik, Al-Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara
sarjana-sarjana Muslim lainnya. Dia mengkhususkan diri dalam soal ini dan
diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada
zamannya. Dia mengemukakan fiqh madzhab Syafi’i dalam karya besar yang unggul, Al-Hawi, yang dipakai sebagai buku
rujukan tentang hukum madzhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk
oleh al-Isnafi yang sangat memuji bukunya ini. Al-Hawi terdiri dari 8.000 halaman dipadatkan oleh Al-Mawardi dalam
satu ringkasan 40 halaman berjudul dengan judul, Al-Iqna.
Al-Mawardi mempunyai
reputasi tinggi di kalangan orang-orang lama dalam barisan juru ulas Al-Quran. Ulasanya
yang berjudul Nukat-wa’luyun mendapat
tempat tersendiri di antara ulasan-ulasan klasik dari Al-Qusyairi, Al-Razi, Al-Isfahani
dan Al-Kirmani. Tuduhan bahwa ulasan-ulasannya yang tertentu mengandung
pandangan Mu’tazilah tidaklah wajar dan orang-orang terkemuka seperti Ibn
Taimiyah telah memasukkan karya Al-Mawardi ke dalam buku-buku yang bagus
mengenai persoalannya. Ulasannya atas Alquran popular sekali dan buku ini telah
dipersingkat oleh seorang penulis. Seorang sarjana Muslim Sepanyol bernama Abul
Hasan Ali datang jauh dari Saragosa di Spanyol untuk membaca buku tersebut dari
pengarangnya sendiri.
Al-Mawardi juga
menulis sebuah buku tentang perumpamaan dalam Alquran yang menurut pendapat
As-Suyuti merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini,
Al-Mawardi menulis: “Salah satu dari ilmu
Alquran yang pokok adalah ilmu ibarat atau umpama. Orang telah mengabaikan hal
ini karena mereka membatasi perhatiannya hanya kepada perumpamaan dan hilang
pandangannya kepada umpama-umpamanya yang disebuntukan dalam kiasan itu. Suatu
perumpamaan tanpa suatu persamaan ibarat kuda tanpa kekang atau unta tanpa
penuntun.”
Al-Mawardi
sekalipun bukan mahasiswa biasa dalam ilmu politik adalah ahli ekonomi politik
kelas tinggi dan tulisan-tulisannya yang spekulatif politis dianggap sangat
bernilai. Karyanya yang monumental, Al-Ahkam
us-Sultaniyah, mengambil tempat yang penting di antara risalah-risalah
politik yang ditulis selama Abad Pertengahan. Dia telah menulis empat buku
tentang ilmu politik yaitu Al-Ahkam
us-Sultaniyah, Adab al-Wasir, Siyasat
ul-Malik, dan Tahsil unNasr
wat-Ta’jit uz-Zafar . Dari keempat buku ini dua yang pertma telah
diterbitkan.
Al-Ahkam us-Sultaniyah
yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa termasuk Perancis dan Urdu
merupakan karya-karya tiada ternilai mengenai hukum masyarakat Islam. Dalam isi
buku ini dia telah mengikuti karya Asy-Syafi’i, Kitab Al-Umm Adab al-Wasir, yang menguraiakan fungsi perdana
menteri dan memberikan pandangan-pandangan yang sehat mengenai administrasi
umum. Suatu bacaan yang luas menguraikan kewajiban-kewajiban dan hak-hak
istimewa perdana menteri banyak dihasilkan di negeri-negeri Islam, tetapi karya
Al-Mawardi, Adab al-Wasir, adalah yang
paling luas dan penting mengenai pesoalannya yang meliputi hampir semua tahap
tentang hal yang berseluk-beluk ini.
Tulisan-tulisan
Al-Mawardi yang bersifat politik maupun yang religius mempunyai pengaruh besar
atas penulis-penulis yang kemudian
menulis tentang persoalan ini, terutama di
negeri-negeri Islam. Pengaruhnya bisa terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, Siyasat Nama dan Prolegomena karya Ibn Khaldun. Ibn Khaldun yang diakui peletak
dasar sosiologi dan pengarang tekemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi
telah melebihi Al-Mawardi dalam banyak hal. Menyebuntukan satu-persatu
kemestian seorang penguasa, Ibn Khaldun berkata “Penguasa itu ada untuk kebaikan rakyat. Kemestian adanya seorang
penguasa timbul dari fakta bahwa manusia harus hidup bersama-sama. Dan kecuali ada
orang yang memelihara ketertiban maka masyarakat akan hancur berantakan.”
Sebelumnya
Al-Mawardi telah menunjukkan kekuasaan tak terbatas dari gubernur-gubernur
selama kemerosotan kekhalifahan Abbasiyah ketika kedudukan gubernur itu telah
diperoleh melalui perebutan kuasa dan penguasa usat hanya memiliki kontrol yang
lemah terhadap mereka. Demikianlah Al-Mawardi menonjol sebagai pemikir besar
politik yang petama dalam Islam. Tulisan-tulisan maupun pengalaman-pengalaman
praktisnya dibidang politik telah berumur panjang dalam membentuk pandangn
politik penulis-penulis yang lahir kemudian.
Selain
karya-karyanya tersebut, Al-Mawardi mengarang kitab-kitab lain seperti A’lam
an-Nubuwwah, Qanun al-Wazarah,
al-Amtsal wa al-Hukm, dan at-Tafsir.
Pemikiran-pemikirannya dalam setiap karyanya banyak mempengaruhi generasi
setelah dia.
Di dalam Al-Ahkam
al-Sultania w'al-Wilayat al-Diniyya seorang pengkaji Al-Mawardi
menulis: “Bagi Al-Mawardi, kekhalifahan
melambangkan sistem politik-agama yang mengatur kehidupan manusia dalam
komunitas Muslim. Oleh karena itu penekanan dalam (Al-Ahkam al-Sultania w'al-Wilayat al-Diniyya) menjabarkan
tentang kualifikasi, kekuasaan dan tugas yang berkaitan dengan khalifah (yang diberikan
oleh Kantor Pemerintah)... Pendekatan untuk masalah ini akan menjelaskan tentang
pengaturan kerja yang akhirnya dicapai oleh Kekhalifahan Buwaihi dan
Kekhalifahan Abbasiyah, kemudian diikuti juga secara lebih efisien oleh
Kekhalifahan Saljuk, di mana militer memegang kekuasaan yang sebenarnya, sementara
Khalifah diakui sebagai kepala tertinggi pemerintah dan menerima mandat darinya,
yang pada gilirannya, otoritas duniawi merekak diakui.”
No comments:
Post a Comment