• GOEDANG BIOGRAFI

    Friday, April 8, 2016

    Kisah Cinta Habibie-Ainun



    Nama lengkapnya adalah Hasri Ainun Besari, namun kemudian lebih dikenal sebagai Ainun Habibie. Dia adalah perempuan yang selalu ada di hati Habibie yang kemudian dipersuntingnya. Perempuan yang lahir pada tanggal 11 Agustus 1937 di Semarang ini telah wafat pada tahun 2010 lalu. Beliau adalah salah satu sosok perempuan Indonesia yang layak dijadikan panutan oleh para perempuan di negara ini.
    Kisah cinta Ainun-Habibie dimulai kedua insan itu dengan penjajakan selama dua bulan, dan kemudian menikah. Tentunya waktu dua bulan sangatlah cepat untuk kemudian memutuskan menikah. Jadi apakah di antara keduanya tiba-tiba langsung jatuh cinta saat itu? Ataukah mereka telah saling menyukai sedari lama?
    Umur Habibie dan Ainun terpaut satu tahun. Habibie lebih tua dari Ainun. Demikian halnya dengan sekolah, Habibie satu kelas lebih tinggi dari Ainun. Habibie dan Ainun mengetahui satu dengan yang lain sedari mereka duduk di bangku SMP. Tetapi mereka berbeda sekolah. Habibie bersekolah di SMP 5 Bandung, sedangkan Ainun di SMP 2 Bandung. Kedua sekolah itu letaknya bersebelahan. Menurut Ainun, mereka telah saling “kenal mata” sejak SMP.
    Lulus dari SMP 5, Habibie melanjutkan ke SMA Kristen di Jalan Dago. Setahun kemudian, Ainun melanjutkan di sekolah yang sama. Di SMA, Ainun terkenal sebagai siswi yang pandai di kelasnya, selain itu, dia manis dan rupawan. Dia menarik perhatian banyak siswa pria. Ainun mendapatkan julukan “Si Gula Jawa”.
    Di bangku SMA mereka mulai saling memperhatikan. Habibie dan Ainun memiliki kesamaan, yaitu paling muda dengan tubuh yang paling kecil di kelas. Hal itu menyebabkan para guru sering menjodoh-jodohkan mereka, “itu lho yang cocok buat kamu.”
    Mungkin itu salah satu sebab sehingga Ainun mulai memperhatikan Habibie. Ainun bahkan mengetahui kalau Habibie suka bersepatu roda. Ainun sendiri menyatakan bahwa dirinya memperhatikan Habibie. Tetapi pada masa itu, Habibie bukanlah satu-satunya yang menarik perhatian Ainun.
    Sedangkan Habibie nampaknya menaruh perhatian kepada Ainun. Di kelas Habibie, Ainun merupakan salah satu topik pembicaraan di antara teman-temannya. Habibie sering berkomentar “Wah cakep itu anak, Si Item Gula Jawa”. Selain itu, terdapat kejadian menarik yang menunjukkan adanya perhatian Habibie kepada Ainun. Suatu hari, ketika Ainun sedang duduk dan berbincang dengan temannya, Habibie menghampiri mereka. “Hei, kenapa sih kamu kok gendut dan hitam?”, demikian kata-kata Habibie yang ditujukan untuk Ainun. Tentunya ini pertanyaan yang mengejutkan, mengingat mereka bukanlah teman. Ucapan Habibie itu tak pernah dilupakan Ainun.
    Ainun sendiri memang memiliki kegemaran berolah raga. Seperti soft ball, volley, dan berenang. Kiranya itu yang membuat kulitnya menjadi agak hitam. Selain itu, Ainun suka makan, sehingga badannya berisi.
    Hubungan antara Habibie dan Ainun sewaktu SMA memang hanya sebatas itu. Mereka tidak pernah lebih dekat, apalagi berpacaran. Setelah lulus SMA, Habibie melanjutkan kuliah, dan kemudian pindah ke Jerman. Tentunya kemungkinan hubungan mereka berdua menjadi sangat kecil atau bahkan tak ada.
    Orang bilang kalau jodoh tidak akan kemana. Nampaknya kata-kata itu sesuai untuk mereka berdua. Setelah Habibie memperoleh gelar sarjananya, dia masih melanjutkan studi di Jerman. Teman-temannya mulai memikirkan agar dia segera menikah, demikian halnya dengan Ibu Habibie. Pada tahun 1962 Habibie mengambil cuti untuk pulang ke Indonesia. Tujuan kepulangannya adalah untuk mengunjungi makam ayahnya di Ujung Pandang. Nampaknya tujuan Habibie pulang tidak sekedar itu, tetapi juga terkait masalah pasangan hidup. Pada suatu kesempatan Habibie mengatakan kepada Achmad Tirtosudiro bahwa ibunya memanggil pulang karena harus menikah. Keluarga Habibie di Bandung sepertinya juga telah merencanakan hal tersebut.
    Walau Habibie dan Ainun hanya tahu satu dengan yang lain tetapi tidak saling mengenal, tetapi ada dugaan bahwa calon pasangan yang dipersiapkan untuk Habibie adalah Ainun. Kemungkinan Habibie juga mengetahui hal tersebut. Kepada Achmad Tirtosudiro Habibie menyatakan bahwa dirinya telah mengenal calon istrinya sejak lama, dan saat itu Ainun telah menjadi dokter. Habibie juga mengungkapkan bahwa calon istrinya cantik, tetapi Habibie tidak memiliki ongkos untuk pulang. Jika memang hal tersebut telah direncanakan, nampaknya merupakan inisiatif keluarga Habibie. Sebab, Ny. M.S. Mohamad Besari, ibu dari Ainun mengungkapkan bahwa maksud kepulangan Habibie adalah untuk mengunjungi makam ayahnya. Beliau tidak menyebutkan soal mencari pasangan hidup atau perjodohan dengan Ainun. Sedangkan Ibunda Habibie pernah menuturkan kepada Ainun tentang Habibie yang telah memperoleh gelar insinyur, dan keinginannya agar Habibie pulang ke Indonesia sebelum melanjutkan promosi doktornya. Siapa tahu dalam kepulangannya itu, Habibie akan mendapatkan jodoh, demikian harapan ibunya.
    Terikatnya hubungan Habibie dan Ainun, tidak lepas dari keberadaan Fany Habibie yang merupakan teman Ainun sejak di SMA Kristen. Hubungan pertemanan antara Fany dan Ainun nampaknya cukup dekat, mereka saling kunjung mengunjungi, sehingga antara keluarga mereka pun menjadi dekat.
    Habibie sampai di Bandung pada hari Rabu pukul 15.00 WIB. Sore harinya, pada pukul 17.00 WIB, Fany Habibie hendak mengunjungi Ibunda Ainun. Saat itu rumah keluarga Ainun memang dekat dengan rumah keluarga Habibie di Jalan Imam Bonjol, Bandung. Sebelumnya, keluarga Ainun tinggal di Jalan Ciumbuluit, tetapi mereka telah pindah ke Jalan Ranggamalela No. 21 Bandung. Habibie terkejut, sebab tidak mengetahui bahwa mereka pindah rumah. Dia kemudian memutuskan ikut adiknya ke rumah keluarga Ainun.
    Sesampainya di rumah keluarga Ainun, Fany segera menuju dapur, untuk menemui Ibunda Ainun. Sedangkan Habibie menunggu di dalam mobil. Di dalam rumah, Fany asyik mengobrol dengan Ibunda Ainun yang tengah memasak untuk Lebaran esok hari.
    Karena Fany tidak kunjung keluar, Habibie memutuskan untuk menyusulnya masuk. Tetapi yang dia dapati bukanlah adiknya, melainkan Ainun. Pertemuan keduanya terjadi di ruang makan. “Kok gula Jawa sudah jadi gula pasir”, demikian sapaan Habibie. Ainun mengungkapkan bahwa saat itu muncul perasaan untuk Habibie. Tetapi dia menduga bahwa mungkin perasaan itu telah ada dan terpendam sejak dulu.
    Habibie akhirnya menemukan Fany di dapur. Dia kemudian berbincang dengan Ibunda Ainun. Karena datang tamu dari jauh, Ibunda Ainun mempersilahkan mereka berdua untuk duduk di ruang makan, bersama dengan Ayahanda Ainun dan juga Ainun. Pada kesempatan itu Ainun dan Habibie diperkenalkan secara “resmi”. Karena hari telah malam, Fany dan Habibie pulang. Tetapi Ibunda Ainun mengundang mereka untuk makan siang pada hari Lebaran esok.
    Hanya Habibie yang datang memenuhi undangan makan siang itu. Setelah makan dan berbincang sebentar, Habibie kemudian pulang. Yang tak terduga, pada sore harinya, Ainun dan Habibie pergi berdua untuk menonton film.
    Ainun saat itu sudah bekerja di Kedokteran Anak FKUI. Keberadaannya di Bandung yang akhirnya membuatnya bertemu Habibie, adalah karena Ainun sempat jatuh sakit dan mendapatkan cuti dari tempatnya bekerja.
    Habibie rupanya bergerak cepat. Mereka bertemu hari Rabu, dan hari Kamis sore mereka nonton film berdua. Sedang hari Jum’at, Ainun kembali ke Jakarta, sebab, dia harus bekerja kembali pada hari Sabtu. Dalam pertemuan yang pendek dan singkat itu, keduanya kemudian berpacaran. Sebagaimana pengakuan Ainun, di Bandung itu mereka telah berpacaran. Menghabiskan malam hari berdua, naik becak dengan jok tertutup sekalipun hari tidak hujan. Menurut Ir. Harsono D. Pusponegoro, setelah jatuh cinta pada Ainun, Habibie kemudian mengajukan pertanyaan apakah dirinya ada kesempatan, sebab kalau tidak ada kesempatan, Habibie tak perlu membuang waktu untuk merayu.
    Hubungan keduanya berlanjut di Jakarta. Ainun tinggal di Asrama Jalan Kimia Jakarta, yang terletak di belakang Rumah Sakit Umum Dr. Ciptomangunkusumo. Di Jakarta, Habibie tinggal di rumah kakaknya yang terletak di Jalan Mendut, cukup dekat dengan tempat Ainun. Habibie sering menjemput Ainun pulang dari kerja. Jika tidak, Habibie akan menunggu Ainun di rumah.
    Nampaknya Habibie benar-benar jatuh cinta pada Ainun. Kepada Leila Z. Rachmantio—teman Habibie di Jerman yang kemudian menyusul Habibie pulang ke Indonesia—pernyataan yang pertama kali diungkapkan Habibie adalah bahwa dirinya jatuh cinta. Leila kemudian dikenalkanya dengan Ainun. Demikian halnya tatkala bertemu dengan Sudjana Sapiie, Habibie sangat antusias, dan pernyataan yang pertama kali diucapkan adalah bahwa dirinya akan menikah. 

    Hubungan mereka memang berlanjut ke tahap selanjutnya. Keluarga Habibie datang sekitar tiga minggu kemudian untuk melamar Ainun. Bulan Mei mereka menikah. Liburan Habibie yang dua bulan pun kemudian diperpanjang menjadi tiga bulan. Setelah menikah mereka kemudian berbulan madu ke Yogyakarta dan Bali, dilanjutkan dengan ziarah ke makam ayah Habibie di Ujung Pandang.
    Hubungan keduanya sangat mesra, bahkan di depan teman-temannya. Leila Z. Rachmantio beberapa kali melihat Habibie menggendong Ainun, juga ketika turun dari dokar. Keberhasilan Habibie meminang Ainun berarti patahnya hati pria-pria yang mengincar Ainun. Sebab, Ainun memang disukai banyak pria. Dia terkenal sebagai gadis yang cantik, pandai, apalagi dia berprofesi sebagai dokter. Sewaktu duduk di bangku kuliah Ainun terkenal sebagai Miss Universitas Indonesia, atau mahasiswa teladan, Ainun juga cantik dan menarik. Tak heran jika banyak pria yang menyukainya. Pernikahan Habibie dan Ainun merupakan kabar yang menggegerkan bagi dunia jejaka di Jakarta dan Bandung.
    Selepas berbulan madu dan berziarah ke Ujung Pandang, maka masa cuti Habibie pun segera habis. Mendekati hari kembalinya ke Jerman, Habibie mengatakan kepada Ibunda Ainun bahwa Ainun harus ikut bersamanya ke Jerman. Menyusul keputusan untuk mengikuti Habibie ke Jerman, Ainun segera mengurus cutinya.  Prosedur mulai dari Dekan Fakultas Kedokteran, Rektor Universitas Indonesia, Menteri Riset Nasional, sampai ke menteri PTIP. Mereka berangkat ke Jerman dengan berbekal masing-masing satu koper.
    Di Jerman, teman-teman Habibie tak sabar bertemu perempuan yang diboyongnya. Mereka menunggu kedatangan pengantin baru ini di Dusseldorf. Keduanya kemudian tinggal di Aachen, dengan menyewa sebuah paviliun tiga kamar. Dalam kehidupan sehari-hari, Ainun dibantu seorang pembersih rumah. Ainun sedari kecil sudah diajari bagaimana mengurus rumah tangga, jadi, tatkala tidak menggunakan jasa pengurus rumah tangga, dia tidak merasa berat menjadi seorang istri yang tinggal di negeri orang.
    Setelah kehamilan Ainun memasuki usia empat bulan, mereka kemudian memutuskan untuk pindah rumah. Paviliun yang mereka sewa dirasa terlalu kecil ketika anak mereka lahir nanti. Mereka pindah ke sebuah rumah susun di luar Aachen, yaitu di Oberforstbach. Di sana, Ainun mulai merasakan beratnya hidup, sebabnya adalah rasa sepi. Oberforstbach merupakan sebuah desa dengan transportasi yang jarang. Untuk menuju Aachen, harus menggunakan bus yang hanya ada pada pagi dan sore hari. Ainun mengungkapkan bahwa tinggal di Oberforstbach seolah jauh dari segala-galanya, dari keluarga, ataupun teman.
    Ainun kesepian, tak ada yang bisa diajaknya berbincang. Hanya Habibie. Tetapi Habibie pulang larut malam, sebab dia harus bekerja sekaligus menyelesaikan program doktornya. Penghasilan Habibie pas-pasan, tetapi dia tetap bekerja dengan keras. Setengah hari dia bekerja sebagai asisten pada Institut Konstruksi Ringan dari Universitas. Untuk pekerjaan itu, Habibie mendapatkan setengah gaji seorang Diplom Ingeniur. Mereka juga mendapatkan uang enam ratus DM dari DAAD, yaitu Dinas Beasiswa Jerman. Habibie juga mencuri-curi waktu untuk bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api, dengan pekerjaan mendesain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan.
    Waktu menjadi demikian berharga, dan harus diatur dengan ketat. Pagi-pagi Habibie bekerja di pabrik. Dilanjutkan bekerja di Universitas sampai malam. Habibie sampai di rumah sekitar pukul 22.00-23.00. tetapi bukan berarti Habibie bisa beristirahat, dia mengerjakan disertasinya pada malam hari.
    Masa-masa itu merupakan kala prihatin bagi keluarga muda itu. Habibie naik bis untuk kemana-mana. Karena kurangnya uang untuk membeli kartu langganan bulanan, tiga kali dalam seminggu Habibie harus berjalan kaki mengambil jalan pintas sejauh lima belas kilometer. Akibatnya sepatu Habibie berlubang, yang kemudian ditambal saat menjelang musim dingin.
    Mereka hidup prihatin dan sederhana. Pengeluaran meningkat, sebab mereka juga menabung, membayar asuransi kesehatan bagi wanita hamil yang cukup mahal. Sebagai istri, Ainun melakukan penghematan. Pekerjaan rumah tangga dilakukannya sendiri. Dia belajar menjahit, memperbaiki pakaian dan barang yang rusak, membuat pakaian bayi, merajut, dan membuat pakaian untuk menghadapi musim dingin. Keluarga muda ini kemudian membeli mesin jahit dengan cicilan yang lunas satu setengah tahun kemudian. Anak pertama mereka lahir pada tanggal 16 Mei 1963 di Aachen, Jerman, dengan nama Ilham Akbar, yang berarti ilham besar. Nama tersebut sebagai penanda ketika Habibie memperoleh tema bagi tesis doktornya.
    Sekalipun hidup prihatin, Ainun justru “mensyukuri” keadaan itu. Dia mengambil hikmah. Belajar berdikari, belajar menggunakan waktu dengan baik. Mengatur menu sehat dan murah. Mengurus anak dan suami. Sebagai istri, dia berusaha membuat suasana rumah yang nyaman, mengurus permasalahan rumah tangga tanpa mengganggu Habibie. Dia melakukan semua itu agar Habibie fokus pada pekerjaan dan tugas-tugasnya. Walau begitu, Habibie juga menyempatkan untuk membantu Ainun, misalnya mencuci piring atau mencuci popok.
    Sekalipun hidup sederhana dan pas-pasan, Ainun tidak memutuskan untuk bekerja. Ketimbang membayar jasa seorang pengasuh dan menjalani karir sebagai seorang dokter, Ainun memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan membesarkan anaknya sendiri. Ainun tidak ingin anaknya “kehilangan” orang tua hanya karena masalah materi dan kepuasan pribadi. Keputusan Ainun itu kiranya adalah sebuah titik atau landasan bagi Ainun untuk menjalani hidup yang serba sederhana dan pas-pasan itu.
    Kala prihatin itu mereka lalui selama tiga setengah tahun. Pada 1965 Habibie meraih gelar Dr. Ing. Kehidupan mereka mulai membaik. Habibie mendapatkan pekerjaan di Hamburg. Gaji yang bertambah membuat mereka mampu membeli mesin cuci. Tetapi karena mereka belum pindah rumah ke Hamburg, maka selama tiga bulan, Habibie harus pulang pergi Aachen-Hamburg. Di tengah rutinitas itu Habibie mulai mencari rumah.
    Kesibukan Habibie meningkat, waktu untuk sang anak harus dicari-cari. Sedangkan Ainun harus menyesuaikan dengan berbagai hal, ritme baru, dan sebagai pendamping suami plus profesi suami. Ainun menyadari, bahwa dirinya sebagai istri juga harus mengimbangi dan mengikuti (perkembangan) suaminya.
    Anak kedua mereka, Thareq, lahir di Hamburg. Kebutuhan mereka meningkat, dan rencana selanjutnya adalah membeli rumah. Keputusan itu disebabkan mereka belum mengetahui berapa lama lagi mereka harus hidup di rantau. Saat Thareq berusia empat tahun, Ainun memutuskan untuk bekerja. Hal ini kiranya lumrah bagi seorang Ainun yang berpendidikan tinggi dan profesional. Penghasilan Ainun bahkan hampir mengimbangi penghasilan Habibie. Dengan penghasilan keduanya, mereka mampu membeli tanah dan rumah di Kakerbeck yang jauh dari keriuhan kota.
    Ainun hanya bekerja sekira dua tahun. Thareq sakit keras pada usia enam tahun. Hal itu membuat Ainun memutuskan untuk kembali mengutamakan anak dan keluarganya, ketimbang kepuasan profesional dan penghasilan yang tinggi.
    Sejarah menunjukkan betapa Habibie dan Ainun adalah pasangan yang penuh cinta kasih. Ainun sendiri menyatakan bahwa hidup dengan Habibie tidaklah mudah. Sebab, Habibie  menuntut banyak, tetapi Habibie juga memberikan segala-galanya. Kiranya Ainun adalah perempuan yang luar biasa. Bagi Ainun, kala prihatin selama tiga setengah tahun di Oberforstbach menciptakan kebahagiaan tersendiri. Keluarga kecil mereka menjadi erat dan saling memahami. Hidup sederhana dan pas-pasan itu menjadi dasar terbentuknya kebahagiaan hidup mereka. Segala suka dan duka yang dilewati membentuk saling pengertian, membantu, dan berkorban. Mereka semakin menyatu jiwa dan raga, saling memiliki masing-masing.

    Sumber:           Buku: True Spirit Habibie
                            Penulis: A. Novi
                            Penerbit: Lamafa Publika

    No comments:

    Post a Comment

    Most Popular

    Featured Post

    Kisah Cinta Habibie-Ainun

    Nama lengkapnya adalah Hasri Ainun Besari, namun kemudian lebih dikenal sebagai Ainun Habibie. Dia adalah perempuan yang selalu ada d...

    Fashion

    Beauty

    Travel