Saul Kripke (1940 - )
Saul Aaron Kripke lahir pada 13 November 1940. Dia adalah
seorang filsuf Amerika dan ahli logika. Dia adalah seorang professor emeritus
di Princeton dan menjadi Professor Filsafat di CUNY Graduate Center Sejak
1960-an. Kripke adalah tokoh sentral dalam sejumlah bidang yang berkaitan
dengan logika matematika, filsafat bahasa, Filsafat Matematika, metafisika, dan
epistemology.
Kripke adalah Penerima Schock
Prize 2001 dalam Logika dan
Filsafat. Sebuah jajak pendapat terbaru
yang dilakukan mendudukkan Kripke di antara sepuluh orang filsuf paling penting
dalam 200 - tahun terakhir. Yang luar biasa bagi seorang filsuf profesional,
Kripke hanyalah bergelar sarjana dari Harvard.
Karyanya sangat mempengaruhi
filsafat analitik dan kontribusinya yang terpenting adalah sebuah deskripsi
modalitas metafisika yang sekarang
disebut sebagai semantik Kripke. Kontribusi penting lainnya adalah pendapatnya
tentang kebenaran posteriori, seperti
“air adalah H_2 O. “
Pada tahun 2001, Kripke
memperoleh anugerah Schock Prize, setara dengan hadiah Nobel dalam bidang
filsafat. Dia dianggap sebagai filsuf terbesar di dunia, mungkin yang terbesar
sejak Wittgenstein. Tidak seperti Wittgenstein
yang kecil dan ramping, Kripke berpenampilan sebagaimana seorang filsuf:
berwajah merah muda, berjanggut putih, kusut, dan sipit. Dia sering membawa
buku-bukunya dan makalahnya dalam kantong belanja plastik.
Saul Kripke adalah anak seorang
rabi. Dia lahir di New York dan dibesarkan di Omaha. Dilihat dari kisah
hidupnya, dia benar-benar merupakan anak ajaib. Ketika masih kelas empat, ia telah menemukan teori tentang aljabar, dan
pada akhir sekolahnya, ia telah
menguasai geometri dan kalkulus sambil belajar filsafat. Saat masih remaja, dia
telah menulis serangkaian tulisan yang akhirnya mengubah studi logika modal.
Dia pernah mendapat surat dari jurusan matematika Harvard, yang isinya berharap
agar ia melamar menjadi pengajar di Harvard, namun Kripke menolak dan
menjelaskan, “Kata ibu saya, saya harus menyelesaikan sekolah SMA dan belajar
di perguruan tinggi terlebih dahulu. “
Perguruan tinggi yang akhirnya
dia pilih adalah Harvard. Ketika masih kuliah di Harvard, Kripke diam-diam
telah mulai mengajar pasca sarjana di Massachusetts Institute of Technology,
dan setelah mendapatkan B.A, dia dengan mudah dapat memperoleh gelar yang lebih
tinggi. Siapa yang bisa mengajarinya sesuatu yang dia sudah tahu ? Karena itu,
ia mulai mengajar dan menerbitkan buku. Bukunya tahun 1980 yang berjudul Naming
and Necessity termasuk buku filsafat paling berpengaruh dalam 50 tahun
terakhir, dan bukunya 1982 tentang filsafat Wittgenstein sangat menarik
sehingga beberapa cendekiawan saat ini mengacu pada sosok komposit yang dikenal
sebagai Kripkenstein.
Richard Rorty seorang profesor
emeritus komparatif sastra di Stanford pernah berkata, “Sebelum Kripke, ada
semacam pergeseran dalam filsafat analitik ke
arah idealisme linguistik – sebuah gagasan yang mengatakan bahwa bahasa
tidak diatur oleh dunia. Dan Kripke hampir seorang diri mengubah semua itu. “ Kecuali pada kesempatan yang
sangat langka, Kripke tidak benar-benar mengatur kata-kata itu dalam
tulisannya. Tetapi dia merenung, mengumpulkan beberapa teks, membuat garis
imaninasi yang longgar, dan kemudian di beberapa kesempatan di depan publik,
kuliah, atau seminar, dia hanya berbicara di luar kepala. Pembicaraan ini kemudian
ditranskrip, dan Kripke mengedit dan merevisi ceramahnya yang telah ditulis
orang lain itu, kemudian dibuat draftnya sebelum menyetujui untuk publikasikan.
Michael Devitt, seorang profesor
CUNY dan mantan ketua program filsafat di Graduate Center yang berperan penting
dalam membawa Kripke ke sana, mengatakan metode Kripkean, “Dia tampaknya hanya
bekerja di luar kepala. Seolah-olah dia punya akses istimewa terhadap realitas.
“
Ceramah Kripke yang berjudul “The First Person “membahas
tentang pertanyaan filsafat mengenai makna dan referensi kata ganti “aku “dan
masuk kedalam spekulasi metafisik yang memabukkan tentang sifat diri. Berbicara
dengan nada melengking, suara bernada tinggi, ia berputar mengitari subjek,
atau berteori tentang rancangan besar. Ketika ceramahnay selesai, dia pun
mendapatkan aplaus yang luar biasa.
Setelah itu, sekelompok orang
mendekati Kripke, dan seorang mahasiswa pascasarjana dari Rutgers, Karen Lewis,
menjelaskan bahwa hari itu – sebagaimana Kripke -- ia juga berulang tahun, “Anda
adalah filsuf abad ke-20 idola saya, “katanya. “Saya sangat sangat terkesan
dengan ceramah Anda. “Kripke berseri-seri dan sangat berbahagia dengan
pengakuan mahasiswa tersebut.
Kripke telah memberikan banyak
kontribusi untuk filsafat, dan banyak disertasi doktoral telah ditulis tentang
karyanya. Tapi Kripke juga banyak dikritik. Seorang mantan mahasiswanya menulis
sebuah novel di mana karakter utamanya
tampaknya adalah Kripke. Dalam novel ini, yang berjudul The
Mind-Body, karakter utama memiliki masalah
dengan hubungan antara yang abstrak dan yang konkret. Orang itu, secara
intelektual berbicara sangat fasih, tetapi di luar bidang akademik, ia tidak
berkarya.
Kripke tidak peduli banyak
tentang justifikasi untuk berfilsafat. Ketika seseorang bertanya mengapa dia
menyelidiki filsafat bahasa, ia mengatakan bahwa ia bekerja pada topik tersebut
hanya karena ia merasakan bahwa filsafat bahasa sangat menarik baginya.
Keingintahuan intelektual murnilah yang mendorong dirinya. Dia berpendapat
bahwa filsafat harus relevan dengan kehidupan adalah ide modern. Banyak
filsafat tidak memiliki relevansi dengan kehidupan. Etika dan filsafat politik
relevan dengan kehidupan. Tujuan filsafat tidak pernah relevan dengan
kehidupan. Tapi etika dan filsafat politik dapat relevan.
Ketika seseorang bertanya
kepadanya apakah negatif jika filsafat sekarang dikaitkan dengan karir
profesional dan bukan untuk mencari kebenaran, dia menjawab, “Mungkin tidak
pernah ada pencarian kebenaran tanpa syarat. Para filsuf besar melakukannya
sebagai karir profesional. Filsuf abad pertengahan adalah biarawan, tetapi juga
profesor. Descartes bukan profesor, tapi dia mengajar.”
Dalam sebuah ceramahnya,
Kripke pernah menyatakan dengan serius, “Saya tidak memiliki prasangka
sebagaimana prasangka yang banyak dimiliki orang-orang saat ini. Saya tidak
percaya pada pandangan dunia naturalis. Saya tidak mendasarkan pemikiran saya
pada prasangka atau pandangan dunia, dan tidak percaya pada materialisme. “Dia
menyatakan bahwa banyak orang berpikir bahwa mereka memiliki pandangan dunia
ilmiah dan percaya pada materialisme, tetapi sesungguhnya mereka telah memeluk
sebuah ideologi.
No comments:
Post a Comment