BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALFRED
JULES AYER
(1910-1989)
Alfred Jules
Ayer adalah filsuf Oxford yang
dikenal sebagai seorang penyiar. Penganut filsafat
analitis ini nampaknya ateis dan di mata beberapa orang dia seorang radikal politis. Namun, dia paling dikenal karena “positivisme logis”-nya
dan komitmennya pada empirisme ketat yang didasarkan pada “data-indera”, sebuah
sikap yang dikenal sebagai fenomenalisme. Karya terbaiknya adalah Language, Truth and Logic dan The Problem of Knowledge, meskipun dia
juga menulis tentang pragmatisme, kebebasan dan moralitas, Russell, Hume dan
Voltaire.
Language,
Truth and Logic (1936) merupakan deskripsi klasik tentang positivisme
logis. Ayer membatasi pernyataan yang bermakna pada pernyataan yang secara
empiris dapat diverifikasi dan pernyataan yang dengan sendirinya telah jelas
benar atau salah. Pernyataan religius dan metafisika tidak termasuk dalam
kategori ini dan karena itu tidak bermakna. Dalam buku ini juga ada pembahasan
tentang tujuan filsafat.
Apa
yang menjadikan sebuah kalimat sebagai proposisi yang bermakna. Pertama tentu saja jelas dia mengacu
pada sesuatu secara jelas. Misalnya kalimat “Monuman
Nasional ada di Jakarta”;
kalimat
ini mengacu pada sesuatu
secara jelas. Benar atau tidaknya kalimat ini bisa ditentukan apakah proposisi ini
benar atau tidak. Berbeda dengan kalimat yang salah ini: “Sekarang langit malam
lebih segar daripada di luar.”
Kalimat ini tidak jelas
mengacu pada apa. Maka tidak bisa ditentukan benar salahnya. Yang menentukan apakah suatu
kalimat bermakna atau tidak adalah apakah suatu kalimat proposisi dapat
diferifikasi atau tidak. Contoh kalimat yang pertama tentu bisa diverifikasi karena bisa
dibuktikan bahwa kalimat
itu
benar atau salah dengan melalui observasi. Kita bisa pergi ke Jakarta
untuk melihat ada atau tidaknya Monumen
Nasional. Jadi kebermaknaan suatu
kalimat ditentukan oleh bisa tidaknya kalimat
itu diobservasi melalui indra.
Di
luar dari yang bisa diobservasi oleh indra, masih ada kalimat yang memiliki makna. Yaitu
kalimat yang berkaitan dengan matematika dan logika. Kalimat-kalimat
ini bermakna karena kalimat-kalimat ini tidak pernah melampaui
realitas bahasa. Contohnya: “1+1=2”; “segi empat adalah
bangun yang memiliki empat sisi tegak lurus”
Ini
menyebabkan dirinya dan Neo positivis lain memandang remeh teologi, etika dan estetika.
Proposisi-proposisi itu tak bisa dibuktikan. Misalnya adalah
pernyataan: “Tuhan menciptakan dunia dalam tujuh hari, Tuhan itu tidak ada,
semua orang harus saling mencintai, semua orang tidak boleh membunuh,
lukisan ini sangat tinggi seninya, gadis itu sangat cantik.”
Kalimat-kalimat ini tidak memiliki makna dan lebih bersifat emosi.
Pernyataan agama (bahkan ateisme) tidak bermakna.
Pernyataan
yang lain yang diperbolehkan adalah pernyataan yang bisa diobservasi secara
sebagian saja. Misal pernyataan “semua logam memuai” hanya butuh suatu
observasi atas sebagian logam saja untuk menentukan maknanya karena
observasi murni keseluruhan adalah tidak mungkin.
Ada
banyak kelemahan dalam teori Ayer ini. Ayer membatasi suatu
pernyataan menjadi bermakna hanya apabila dapat diacu pada suatu
observasi empiris. Akhirnya ia
juga membatasi bidang pengetahuan
pada kebenaran empiris itu. Suatu pernyataan yang bersifat nilai dinyatakan
sebagai pernyataan yang tidak benar atau salah. Bagaimana dengan pernyataan “saya
kedinginan”? Sebenarnya kritik paling telak
berasal dari inti teori itu sendiri. Pernyataan
yang dibuat Ayer tidak bisa
diobservasi dan juga bukan tautologi. Dengan kata lain tulisan Ayer sendiri tidak bermakna.
No comments:
Post a Comment