Zeno (490 – 425 SM)
Zeno
adalah seorang pemikir Yunani, lahir sekitar 490 SM. Sedikit sekali yang
diketahui tentang dirinya. Plato menggambarkan Zeno sebagai orang yang tinggi
perawakannya dan berkulit cerah, dan dia disayangi oleh Parmenides. Zeno
menjadi terkenal karena beberapa tulisannya yang paradoks sehingga membuat
penasaran dan membingungkan para pemikir semenjak zamannya hingga hari ini.
Sebagian besar yang diketahui tentang kehidupannya dan gagasannya berasal dari
Plato atau Aristoteles, dimana Plato menuduhnya hanya sebagai seorang pembela
Parmenides, sedangkan Parmenides telah menggambarkan Zeno sebagai penemu
dialektika dalam karyanya yang hilang Sofis.
Proposisi
Zeno memang paradoks dengan pemikiran Yunani, bahkan bertentangan dengan
keyakinan atau pendapat mereka. Paradoksnya menantang konsepsi dasar tentang
pluralitas, ruang, dan gerak. Menurut
istilah matematika, paradoks Zeno diyakini terpengaruh oleh usaha-usaha
Pythagoras untuk mengaplikasikan konsep matematika dalam dunia alam. Pemikiran
Zeno yang mengandung paradoks itu kemungkinan hilang selamanya. Namun, sejumlah
paradoks yang ditulis Zeno berasal dari
Aristoteles, dimana Aristoteles
mengembangkan dan menolak sebagian paradoks tersebut.
Zeno
juga dikenal sebagai salah seorang contoh pertama dalam anti logika.
Paradoks-paradoks yang paling banyak mengusik dan membingungkan para pemikir
semenjak dua millennium yang lalu adalah karya-karyanya: 1. Kura-kura dan
Achilles, 2. Gerakan anak panah, dan 3.
Argumen dikotomi.
1.
Kura-Kura dan Achilles
Achilles
adalah nama seorang kesatria pada perang Troya. Dalam mitologi Yunani
disebutkan bahwa dia berlomba lari dengan kura-kura, tetapi Achilles tidak
dapat mengalahkan kura-kura. Untuk menjelaskannya maka digunakan angka-angka
paradoks. Ketika Achilles berlari dengan kecepatan 1 meter per detik, kura-kura
berjalan dengan kecepatan setengahnya, ½ meter per detik. Akan tetapi,
kura-kura memulai pertandingan hanya menempuh separuh jarak yang harus ditempuh. Yakni, jarak yang
seharusnya ditempuh dua kilometer, tetapi kura-kura mengawalinya pada posisi 1
km, sedang Archilles pada titik 0 km. Kura-kura telah mulai berjalan ketika
Achilles mencapai tempatnya. Pada saat Achilles telah menempuh jarak 1
kilometer, kura-kura telah berada pada posisi 1,5 kilometer. Ketika Achilles
berada di posisi 1,5 kilometer, kura-kura berasa pada posisi 1,75 kilometer.
Ketika Achilles berada pada posisi 1,75 kilometer, kura-kura berada pada posisi
1,875 kilometer. Lalu pada posisi berapa kilometerkah Achilles dapat menyusul
kura-kura?. Zeno menyatakan bahwa ruang dan waktu adalah sebuah kesinambungan,
sehingga jika ada gerakan, maka akan ada gerakan yang sama. Tidak sebagaimana
pendapat orang-orang pada umumnya, Zeno juga menyatakan bahwa Achilles tidak
akan dapat melewati kura-kura karena ada
tahapan tak terbatas.
Siapa saja tentu akan berpendapat bahwa Achilles pasti
dapat mengalahkan kura-kura. Akan tetapi
menurut Zeno, Achilles tidak akan pernah dapat menyusul kura-kura. Bahkan, para
filsuf pada zamannya juga tidak mampu menjelaskan paradoks tersebut. Padahal,
mereka tahu bahwa kesimpulan tersebut salah. Sesungguhnya para filsuf hanya
mengandalkan logika. Dalam kasus ini, deduksi sama sekali tidak berguna. Bagi para filsuf, persoalan tersebut sungguh sangat membingungkan, tetapi mereka tidak
mampu membongkar permasalahannya, yakni masalah ketidakterhinggaan.
2. Gerakan
anak panah
Zeno
menceritakan bahwa anak panah dapat melesat terbang karena dilepaskan dari
busurnya. Dan pada waktu tertentu, anak panah tersebut dalam keadaan diam dan
tidak diam. Jika waktu tidak dapat dibagi, maka anak panah tidak akan dapat
bergerak. Oleh karena waktu tersusun dari satuan saat, maka anak panah tidak
dapat bergerak pada suatu saat tertentu,
tidak dapat bergerak pula pada waktu tertentu. Dengan demikian, anak panah
selalu diam. Kapan saja, anak panah yang melayang tentu menuju pada suatu
tempat tertentu, tetapi sebenarnya dia tidak benar-benar bergerak.
3. Argumen
dikotomi
Menurut
Zeno, sesungguhnya sebuah ruang kosong yang menimbulkan jarak tertentu, jarak
tersebut tidak terbatas, karena masih dapat dibagi lagi ke dalam jarak-jarak
yang tidak terbatas jumlahnya. Karena, jarak tertentu tersebut masih dapat
dibagi lagi menjadi titik-titik yang tidak akan pernah habis. Jika gerak itu
memang ada, maka pelaku gerak yang akan menempuh suatu jarak tertentu, terlebih
dahulu harus menempuh setengah jarak dari jarak tersebut, sehingga menuju titik
yang tidak terbatas, dan orang yang bergerak itu tidak akan sampai di garis
akhir dari jarak yang akan ditempuhnya. Dengan demikian, gerak tersebut
merupakan hal yang mustahil. Zeno juga menyatakan bahwa benda yang bergerak
terlebih dahulu harus bergerak setengah jarak dari jarak yang akan ditempuhnya,
baru setelah itu jarak sisanya. Maka jika sebuah titik bergerak dari posisi 0
ke posisi 1 pada garis bilangan, maka posisinya mencapai 1/2, selanjutnya 3/4,
selanjutnya 7/8 dan seterusnya. Dalam tahap n, maka akan berada pada posisi 1 -
12n. Dengan demikian, tidak ada n hingga 1 - 12n= 1. Dengan demikian, gerakan
titik tidak akan pernah berada pada posisi 1. Namun demikian, hal ini tidak
dapat melalui angka-angka tidak terhingga berhingga. Dengan demikian tidak ada
gerakan, dan gerakan dari 0 ke 1 merupakan sifat khusus dari gerakan apa saja.
Pendapat
Zeno tersebut selama 20 abad lebih tidak dapat dipecahkan secara logis, dan baru dapat
dipecahkan setelah para ahli matematika merumuskan definisi limit dari hitungan
tak terhingga. Para filsuf dan ahli matematika juga telah banyak memperdebatkan
tentang sifat paradoks tersebut, baik dari sudut pandang metafisika maupun
matematika.
Adapun
penjelasan Plato tentang paradoks-paradoks tersebut dapat ditemukan dalam
dialog Parmenides dari Elea, yang ditulis ketika Plato mengunjungi Parmenides
dari Elea dan muridnya, Zeno, yang juga dari Elea. Dari penjelasan Plato
tentang Parmenides dari Elea, Zeno, dan Socrates, diperkirakan bahwa Zeno lahir
sekitar 490 SM. Dalam Dialogue Parmenides dari Elea oleh Plato, Socrates tampak
seperti seorang pendengar yang masih muda dalam pelajaran pertama yang
diberikan oleh Zeno mengenai paradoksnya di Athena.
Zeno
berargumen bahwa semua paradoks-paradoksnya bertujuan untuk menunjukkan tidak
konsistennya kepercayaan umum bahwa ada
beberapa benda. Plato juga mengklaim bahwa apa yang dilakukan Zeno hanyalah meniru
Parmenides dari Elea, tetapi mengubah bentuknya sehingga mengelabui orang-orang bahwa dia telah
mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda dari yang dikatakan Parmenides. Dia
menyatakan bahwa jika Parmenides dari Elea menyatakan bahwa segala sesuatu itu
satu, Zeno mengklaim bahwa tidak ada beberapa benda yang pada hakikatnya
memiliki sifat yang sama.
Sedangkan
Aristoteles menyatakan bahwa paradoks Zeno selalu diulas dan ditulis
kembali oleh orang-orang yang menyunting
karyanya sehingga sulit untuk mengatakan mana yang asli dan mana yang telah
ditulis kembali oleh penulis lainnnya. Paradoks tentang gerak, yang terdapat
dalam pemikiranfisika Aristoteles, tidak memiliki kaitan langsung dengan thesis
yang dipegang banyak orang bahwa seluruh karya Zeno adalah mempertanyakan
keyakinan umum bahwa ada beberapa benda. Namun dapat dikatakan, berdasarkan
paradoks yang dijelaskan oleh Aristoteles, bahwa jika semua itu merupakan karya
Zeno, maka tentu akan mempertanyakan pluralitas maupun gerakan.
Thomas Aquinas, filsuf abad 13,
mengulas komentar Aristoteles mengenai paradoks Zeno, dengan berargumen bahwa
waktu tidak terjadi dengan cara seketika. Bertrand Arthur William Russel setuju
dengan pernyataan Zeno bahwa dalam sebuah durasi yang tidak seketika, sebuah benda
hanya dapat diam di dalam ruang angkasa, tetapi dia menyanggah bahwa apa yang
terjadi di antara dua momentum tersebut
berdasarkan kenyataan bahwa benda yang melayang di ruang angkasa itu
bergerak.
No comments:
Post a Comment