Biografi dan pemikiran Edmund Husserl, Filsafat Kesadaran
Edmund Husserl lahir pada tahun 1859, di kota
Prossnitz di Moravia. Keluarganya adalah penganut Yahudi, meskipun bukan
keluarga ortodoks. Dia memulai belajar bahasa Jerman klasik di Realgymnasium di
Wina pada usia 10, dan di tahun berikutnya dipindahkan ke Staatsgymnasium di
Olmütz. Dia menempuh studinya di universitas Leipzig, berkonsentrasi pada
Matematika, fisika, dan filsafat, dengan minat khusus dalam astronomi dan
optik. Setelah dua tahun, ia pindah ke Berlin untuk mengembangkan minatnya dalam matematika, sekali lagi
kembali ke Wina, dan memperoleh gelar doktor pada tahun 1883.
Disertasinya adalah tentang teori kalkulus variasi.
Dia pernah mengajar untuk waktu yang singkat di Berlin, namun, karena tertarik
dengan kuliah Franz Brentano menyebabkannya untuk kembali ke Wina pada tahun
1884. Kuliah ini memiliki pengaruh yang
besar pada diri Husserl, sehingga mendorong dia untuk lebih banyak melakukan
penelitian dalam bidang psikologi dan filsafat. Konsep Brentano tentang tujuan sebagaimana
diterapkan pada filsafat kesadaran sebagai kesadaran terhadap sesuatu merupakan
pengaruh utama terhadap Husserl.
Tahun 1886-7 merupakan tahun penting bagi Husserl.
Dia pindah ke Halle dan belajar psikologi, menulis Habilitationsschrift dengan
judul The Philosophy of Arithmetic. Dia berpindah menganut Kristen bersama
tunangan dan anggota komunitas Yahudi Prossnitz, Malvine Charlotte
Steinschneider. Mereka memiliki tiga anak.
Dia menjadi Privatdozent di Halle, dan tinggal di sana sampai 1901. Selama
periode ini ia menulis karya-karya yang penting, yakni Logische
Untersuchungen / Logical Investigations
(1900-1901 diterjemahkan 1970) diterbitkan dalam dua bagian, dan merupakan
pengantar bagi konsepnya tentang fenomenologi.
Pada tahun 1901, Husserl menerima jabatan di
Universitas Göttingen, di mana dia memegang posisi pengajar selama 16 tahun. Di
sini ia mengembangkan teori-teorinya tentang fenomenologi, sebuah mazhab
pemikiran yang berbeda yang menarik perhatian banyak mahasiswa. Secara etimologis, fenomenologi berasal dari
kata fenomena dan logos. Fenomena berasal dari bahasa Yunani yang berarti tampak, berasal dari kata
fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu
terbentuk kata kerja tampak karena
bercahaya. Sedangkan secara harfiah, fenomena artinya adalah gejala atau
sesuatu yang tampak. Adapun yang dimaksud logos adalah hasil pertimbangan akal
pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Husserl
membedakan dalam teori Fenomenologinya
ini antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di tempat kita
hidup. Ia juga membahas tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia sebagai
tempat kita hidup. Kita dapat mengesampingkan objek apa pun di dunia ini,
tetapi kita tidak dapat mengesampingkan kesadaran kita. Kesadaran adalah
satu-satunya eksistensi yang tidak dapat dianggap remeh. Jadi, pusat perhatian
fenomenologi adalah kajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman
langsung kita terhadap dunia.
Pendapat Husserl tentang perhatian dan intuisi telah
memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, terutama di Jerman dan Perancis.
Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi fenomenologi Transendental.
Dalam periode ini, dia berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan,
tetapi bersumber dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran bipolaritas, yakni
kesadaran dan alam, subyek dan obyek. Artinya, kesadaran tidak menemukan obyek,
karena obyek diciptakan oleh kesadaran. Maka bisa dikatakan bahwa dengan
pendapatnya ini, teori Husserl berdekatan dengan idealisme. Bagi ilmu,
kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus
diletakkan dalam sebuah idealitas yang hanya menerima satu pola, yaitu
kesadaran.
Prosedur yang disebut epoche (penundaan semua asumsi
tentang kenyataan demi memunculkan esensi) diajukan oleh Husserl. Tanpa epoche,
Kita akan terjebak pada dikotomi subyek-obyek yang menyesatkan atau saling
bertentangan. Pemikiran filosofis fenomenologi Husserl berasal dari pemikiran
gurunya, Franz Brentano. Dari Brentano inilah Husserl memperoleh konsep
filsafat sebagai ilmu yang rigoris, yakni sikap pikiran dalam pertentangan
pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan untuk dilakukan, atau
bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat. Karena filsafat
memang terdiri atas deskripsi, bukan berasal dari penjelasan kausal. Bagi
Edmund Husserl, fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai
metode, karena dalam fenomenologi dapat diperoleh langkah-langkah untuk menuju
suatu fenomena yang murni.
Hasil metode fenomenologi Husserl ialah adanya
perhatian baru bagi intensionalitas kesadaran. Fakta yang menunjukkan bahwa
kesadaran selalu terarah kepada obyek
disebut intensionalitas. Menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu,
sehingga kesadaran tidak pernah pasif. Kesadaran adalah tindakan, yakni
terdapat
interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran.
Pada tahun 1913, ia menerbitkan potongan klasik, Ideas: sebuah Pengantar umum untuk Fenomenologi Murni,
memperkenalkan teori reduksi fenomenologisnya - sebuah metode intuitif untuk
merenungkan benda sambil mengamati makna dan refleksi pikiran untuk
menggambarkan benda itu. Karena sifat refleksi tersebut, objek kontemplasi
tidak perlu hadir secara fisik, karena metode Husserl menggunakan eksistensi
nyata yang mengurung eksistensi, atau mengamati apa arti sesuatu yang muncul
sebagai fenomena yang benar dalam “dunia Tujuan “. Studi ini dipimpin Husserl
untuk memahami dan menganalisa deskripsi struktur mental secara rinci yang
terlibat dalam persepsi objek. Husserl berkesimpulan bahwa kesadaran
membutuhkan obyek untuk kontemplasi, yakni disiplin deskriptif yang harus
berusaha untuk mendeskripsikan hal-hal yang ada dalam diri mereka sendiri, yang
bertentangan dengan penemuan teori. Dalam hal ini, Husserl menganggap dirinya
sebagai seorang pekerja mirip dengan filsafat Kant.
Husserl bercita-cita agar fenomenologi dapat
dijadikan sebagai displin ilmiah yang lengkap dengan metode yang jelas dan
akurat, sebagaimana di dalam ilmu-ilmu alam
seperti kimia, fisika, dan biologi, dikenal adanya metode penelitian
ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan eksperimental. Penelitian ilmu-ilmu
alam memiliki metode tertentu seperti melakukan observasi yang sifatnya
sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan teori yang telah dikembangkan
sebelumnya. Akan tetapi, Husserl ingin membebaskan diri dari cara berpikir
dengan menggunakan metode penelitian seperti itu. Menurut Husserl, untuk
memahami manusia, fenomenologi dapat digunakan untuk melihat apa yang dialami
oleh manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang
mengalaminya.
Oleh karena itu, seorang ilmuwan adalah peneliti dan
yang diteliti. Ia adalah subyek sekaligus obyek penelitian. Dengan demikian,
fenomenologi adalah
cara untuk memahami kesadaran manusia dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.
Namun menurut pendapat Smith, Husserl membedakan tingkat-tingkat kesadaran.
Yang menjadi titik perhatian fenomenologi bukanlah pengalaman tertentu, tetapi
struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif yang mewujud di
dalam pengalaman subyektif orang per orang. Jelasnya, fenomenologi berpijak pada makna subyektif
dari realitas obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya,
yang menurut istilah Husserl, “Obyek kesadaran sebagaimana yang dialami.”
Pada tahun 1916 Husserl kehilangan putranya,
Wolfgang. Dia menyadari anaknya meninggal pada tahun berkabung, yang
menyebabkan diam-diam ia mengalami penderitaan. Perang menyebabkan kegiatannya
mengajar terhenti. Namun pada tahun yang sama, Husserl diterima menjadi guru
besar di Freiburg di Beisgau. Naskah yang ia hasilkan ketika di sini
diterbitkan setelah kematiannya sebagai volume kedua dan ketiga dari Ideas, meskipun dia juga mengerjakan
banyak proyek lainnya.
Husserl terus bekerja setelah pensiun dari mengajar
di Freiburg pada tahun 1928 sampai kematiannya karena radang selaput dada pada
tahun 1938. Karya-karyanya terus mempengaruhi para pengikutnya. Salah satu
kesulitan Husserl adalah bahwa kesatuan, metafisika, yang mulai menempati
perhatian yang lebih besar dalam karya-karyanya berikutnya, memberikan cara
bagi mazhab berpikir baru, Eksistensialisme, dipelopori oleh murid terbesar
Husserl, Martin Heidegger. Karena Husserl merasa tidak nyaman dengan konseptualisasi
teori besar, ia mengabaikan hubungan sebagai makna kehadiran, dengan rasa
keabadian implisit, yang bertentangan dengan kefanaan. Meditasi Husserl tetap
terjebak dalam solipsistic penalaran di mana subjek transendental tetap berada
di luar waktu, seperti halnya Tuhan.
Selama masa hidupnya, Husserl
menghasilkan banyak karya yang dianggap berbobot, antara lain:
-
Logische Untersucgsuchugen (Penyelidikan logis), pada tahun 1900-1901. Buku ini
membahas tentang struktur kesadaran yang membedakan antara tindakan dari
kesadaran dan fenomena yang diarahkan. Di sini, Husserl menunjukkan sikapnya
yang menolak psikologi.
-
Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913
(Gagasan bagi fenomenolgi murni dan filsafat fenomenologis). Dalam buku ini,
Husserl menegaskan bahwa seorang fenomenolog harus bersikap teliti terhadap
dunia luar. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar memerlukan
metode khusus, karena kesadaran terhadap dunia luar menembus mana saja, dan
menyebabkan analisis yang salah.
-
Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan Kartesian). Dalam buku ini, Husserl
membahas pemikiran Kartesian dengan sangat mendalam. Di dalamnya disebutkan, “Apakah
aku harus terperosok ke dalam solipisme (percaya terhadap diri sendiri),
sehingga yang ada hanya kesadaranku sendiri? Jika demikian, bagaimana mungkin
aku dapat mengetahui tentang dunia antarsubyek?”
No comments:
Post a Comment