Mereka Diberi Kesempatan Kedua: Dian
Syarief, Perjuangan Hidup Melawan penyakit Lupus
Dian Syarief, mungkin beberapa dari kita
sudah tidak asing dengan nama ini. Banyak media yang memberitakan perjuangan
beliau dalam melawan penyakit lupus. Tak banyak yang tahu tentang lupus. Bagi
penulis mendengar penyakit lupus pertama kali saat teman kuliah kakak meninggal
dunia karena sakit lupus, yang katanya belum ada obatnya. Dari sekian penderita
lupus, kisah perjuangan Dian Syarief yang disampaikan sekaligus beliau sebagai
pioner berdirinya yayasan lupus yang bernama Syamsi Dhuha Foundation.
Wanita kelahiran kota kembang,
Bandung 21 Desember 1965 ini, semasa kecil kehidupannya seperti halnya
anak-anak sebayanya. Ia tumbuh dan besar menjadi anak periang. Sang ayah Prof.
Dr. Dr. Rudy Syarief merupakan seorang dokter. Ternyata tidak hanya ayahnya yang
berprofesi sebagai dokter. Ibunya dr. Oemmy R Syarief MMBAT juga seorang
dokter. Profesi dokter juga menularkan kepada anak-anaknya. termasuk adik-adik
Dian. Semasa kecil dan remaja, Dian terkenal sebagai anak cerdas. Tak heran
jika selepas lulus SMA, ia melanjutkan studi di kampus favorit di Bandung,
Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan jurusan farmasi.
Tetapi setelah lulus dari kuliah,
ternyata karirnya tidak sesuai latar belakang pendidikannya yaitu farmasi.
Setahun setelah lulus dari ITB, tepatnya pada tahun 1990, Dian mulai merintis
karir di Bank Bali atau sekarang disebut sebagai Bank Permata. Ia pun pindah ke
Jakarta untuk meniti karir. Ia sempat mengenyam kesuksesan dengan menjabat
sebagai Public Relation (PR) manajer Bank Bali. Sehingga wajahnya mungkin sudah
tidak asing lagi bagi kalangan wartawan ekonomi dan perbankan. Jabatannya
sebagai Public Relation membuat dirinya cukup intens berkomunikasi dengan para
jurnalis. Terlebih ketika hantaman krisis perbankan tahun 1998 – 1999. Bahkan
hingga kini Dian masih ingat siapa sejumlah nama wartawan yang bertugas di
bagian ekonomi-perbankan menjelang akhir dekade tahun 1990 an. Saat itu Dian
sedang sibuk-sibuknya, harus membuat press release, menyiapkan jumpa pers
hingga membantah kabar yang tak benar.
Pada tahun 1990 dia menerima
pinangan seorang pria dari teman sekampusnya Eko Priyo Pratomo. Setelah menikah, kehidupan baru yang
diharapkan akan menghadirkan kebahagiaan. Karirnya yang bagus dan memiliki
pendamping hidup seakan bahtera rumah tangga begitu indah melengkapi hidupnya.
Awalnya Dian Syarif hidup normal dan bahagia bersama suami dan keluarganya.
Tanpa ada pertanda sebelumnya, setelah hampir 9 tahun berkarir di Bank Bali dan
menjalani mahligai rumah tangga cobaan pun datang. Hidup penuh misteri, manusia
tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok. Apakah ajal menjemput atau tiba-tiba sakit sehingga kehidupannya
berubah drastis.
Perempuan yang penuh energik dan
aktif ini tidak pernah mengalami sakit serius. Di tahun 1999 tiba-tiba lupus
datang menghampiri. Ia tidak menyangka
akan bergelut dengan penyakit autoimun yang konon harus mengkonsumsi obat
seumur hidup. Gejala awal terdapat ruam / bintik merah di lengan dan kaki
karena trombositnya drop. Semula ia tidak mempedulikan karena dikiranya penyakit
kulit biasa. Tapi begitu dokter menyatakan Dian harus cek darah. Pikirannya
mulai berkecamuk. Dari hasil cek laboratorium trombositnya menurun drastis
tinggal 10 persen atau 30.000 padahal
untuk kondisi tubuh yang normal kadar trombositnya antara 150 ribu – 200 ribu.
Selain ada kelainan darah Dian juga ada gangguan sendi. Tapi saat itu Dian
merasa sehat cuma sedikit merasa lemas seperti halnya orang kecapaian.
Semula Dian diduga terkena demam
berdarah. Dia pun masuk rumah sakit. Pada keesokan harinya sum-sum tulang
belakangnya diambil untuk dilakukan pengecekan tulang. Setelah itu baru
ketahuan bahwa Dian tidak menderita demam berdarah melainkan lupus. Untuk
menaikkan kadar trombosit dalam darahnya, Dian harus mengkonsumsi tablet
sejenis steroid sebanyak 20 butir sehari. Dan ternyata obat ini memberikan efek
samping yakni kulit Dian semakin keriput seperti nenek-nenek, di bibir tumbuh
sariawan parah, kaki mengecil seperti belalang dan mukanya bulat (moon face).
Seiring diturunkannya dosis, mukanya akan kembali normal. Ia kerap mengalami
kejang-kejang. Kejang terjadi ketika terkena abses otak. Tapi ketika semua
teratasi tidak terjadi kejang. Sekarang sudah jarang kejang.
Setelah
bedah otak di kepala dipasang selang yang mengalirkan cairan otak ke rongga
perut. Kadangkala ada gangguan ketika selang macet dan harus dibongkar dan
dipasang lagi. Kali ini penglihatannya mulai terganggu . Kemampuan
penglihatannya tinggal lima persen saja. Awal-awal terpukul ketika hilang
penglihatan. Terjadi penurunan sedikit demi sedikit.
Kisah
mengenai hilangnya penglihatan berawal dari pernikahan adik laki-lakinya dr.
Achmad Peter Syarief, SpBJ. Waktu itu Dian bersama suaminya Ir. Eko. P Pratomo,
MBA ditugasi untuk membaca Al-qur’an dan
saritilawah. Agar tampil optimal, Dian pun barlatih dahulu. Saat membuka
terjemah Al-qur’an yang terlihat hanya tulisan yang membayang samar dan tak
terbaca. Ia mencoba membuka mata lebih lebar dan dikucek-kucek didekatkan tapi
hasil sama tak terlihat. Dian pun mencoba membuka terjemah Al-qur’an yang
hurufnya lebih besar, ternyata hasil sama tetap saja tak terbaca.
Menurutnya
kejadian itu hanya kebetulan saja, sehingga ia tetap akan menjalankan tugas
sebagai saritilawah. Saat perjalanan menuju lokasi akad nikah, Dian melihat
gedung-gedung disekitarnya nampak seperti bayang-bayang tak jelas. Ada sedikit
rasa khawatir jika tidak dapat menjalan tugas dengan baik karena terganggu
penglihatannya. Tapi keajaiban pun datang, setelah suami selesai membaca
Al-qur’an, tiba giliran Dian untuk membaca terjemahannya. Tak dikira ia bisa
membaca dengan jelas tulisan terjemah dalam Al-qur’an. Dan membacanya dengan
lancar. Begitu selesai membaca, penglihatannya kabur hanya berupa siluet dan
bayangan hitam. Dian merasa bersyukur karena terakhir kali yang ia baca adalah
Al-qur’an. Setelah itu Dian langsung mencari pelatihan untuk mereka yang
mengalami keterbatasan fisik. Pertama kali belajar orientasi mobilitas. Disana
dilatih menyeberang jalan, bergerak, melatih kepekaan.
Dari hari ke hari kondisi fisiknya
semakin memburuk, akibatnya sejak Maret 1999 Dian tak mampu bekerja seperti
semula. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjalani pengobatan. Dian
sudah menjalani 17 operasi baik di dalam maupun di luar negeri. Di RS Mount
Elisabeth, Singapura dalam kurun waktu sebulan ia sudah menjalani 6 kali
operasi tempurung otak. Infeksi yang menimpa otaknya sudah menjalar
kemana-mana. Tempurung kepalanya dibongkar pasang hingga tak lagi rata karena
sudah dipasangi slang. Dian menjalani
pemasangan VP Shunt (ventriculoperitoneal
shunt) semacam slang dari bagian otak ke rongga perut untuk memperlancar
sirkulasi cairan otak. Kondisi Dian perlahan-lahan mulai stabil, bahkan pada
tahun 2000 Dian sempat menunaikan ibadah haji dengan menggunakan kursi roda.
Namun dua tahun kemudian kondisi fisik Dian kembali labil, ia keluar masuk
rumah sakit.
Tahun
2002 berdasar hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging) VP Shunt tidak berfungsi.
Akibatnya Dian merasa pusing dan mual. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit
Singapura guna pergantian slang. Namun sayang pemasangan VP Shunt di Singapura
tidak berfungsi dengan baik. Dian harus kembali ke meja operasi untuk
pemasangan ulang VP Shunt di rumah sakit swasta di Jakarta. Di sela itu, Dian
juga mengalami pendarahan hebat akibat siklus menstruasi yang tidak teratur.
Pernah Dian tidak mengalami menstruasi selama lima bulan berturut-turut dan
penebalan dinding rahim. Menurut Dian akibat mengkonsumsi tablet sejenis
steroid berpengaruh pada keseimbangan hormonal yang bermuara pada siklus yang
tidak teratur, penebalan dinding rahim dan pendarahan hebat.
Akibat dari penyakit
lupusnya satu demi satu bagian tubuhnya mengalami efek buruk dari penyakit
tersebut. Salah satunya rahim yang merupakan bagian penting bagi wanita. Tahun
2004 terpaksa Dian harus merelakan rahimnya untuk diangkat karena terjadi
pendarahan terus menerus demi keselamatan jiwanya. Tentu ini merupakan pukulan
berat bagi Dian karena tidak bisa menghadirkan keturunan. Tak mampu
menghadirkan buah hati, tentunya menimbulkan kekhawatiran Dian kalau suaminya
Eko Pratomo akan berpaling darinya. Tapi beruntung Dian memiliki suami yang
setia. Bagi Eko, Dian adalah ladang amal baginya. Presiden PT Fortis Investment merasa bersyukur
karena dititipi Dian sebagai istrinya, sehingga tujuan hidupnya menjadi lebih
terarah.
Pasca pengangkatan rahim memang menjadi
kesedihan bagi Dian. Tetesan air matanya tak bisa dibendung pasca siuman
operasi. Harapan akan kehadiran anak semenjak awal pernikahan pupus sudah. Dian
hanya terdiam semua sudah ada yang mengatur, Dian hanya berharap semoga ini
merupakan operasi yang terakhir kalinya. Ia pun segera menanyakan kepada suami
apakah berniat menikah lagi? tapi sang suami tak terpikir menikah lagi. Padahal
saat itu, Dian sudah merelakan jika suaminya akan menikah lagi agar memperoleh
keturunan. Tetapi sebagai suami Eko tetap setia mendampingi Dian dalam berjuang
melawan penyakit lupus yang kapan saja bisa menggerogoti tubuhnya. Setelah
selesai pengangkatan rahim, suaminya malah memberikan selamat karena telah
melahirkan si uterina / rahim. Ungkapan-ungkapan seperti ini membuat hati Dian
terhibur.
Menurut Dian kalau saja
tujuan menikah hanya untuk mendapatkan keturunan, mungkin sekarang sudah bubar.
Dalam pernikahan hal yang penting adalah toleransi, keterbukaan, komunikasi dan
tentu saja cinta. Kekuatan cinta dapat menimbulkan keajaiban, mengubah yang
tidak mungkin menjadi mungkin, bisa menjadi sumber energi, menimbulkan semangat
hidup. Selain suami yang berperan besar mensupport Dian adalah ibu kandungnya.
Ada satu kalimat penyemangat yang masih teriang dibenaknya saat Dian harus
menghadapi menurunnya fungsi penglihatan. Jika matanya tidak bisa digunakan
lagi, kelak fungsinya akan digunakan oleh yang lain. Bisa oleh telinga, hidung,
kulit, rambut, perasaan dan sebagainya.
Pengalaman hidupnya memberikan
banyak inspirasi bagi odapus-odapus (sebutan penderita lupus) lainnya dan
masyarakat awam. Dari penyakit berkepanjangan dan hilangnya satu indra penting
ini merupakan kasih sayang Alloh kepada hambanya agar kembali ke jalan yang
benar. Dengan cobaan ini Dian tersadar akan tujuan hidup sebenarnya. Masa-masa
sulit yang dilaluinya ia bersyukur itu merupakan peluang yang Alloh berikan
agar dirinya bisa “naik kelas”. Semasa sakit membuat Dian semakin mendekatkan
diri kepada Alloh. Meski sedang sakit, Dian masih bisa menyempatkan diri untuk
pergi ke Tanah Suci. Dalam menjalani pengobatan ia selalu menyerahkan hasilnya
kepada Sang Pencipta. Di saat kondisi kritis Dian percaya selalu ditemani Alloh
dengan cara berdzikir. Ia percaya dengan berdzikir dan menjalani perintahnya
menjadi bekal jika ia kembali kepada-Nya.
Menurut suami Dian, Eko Priyo
Pratomo sebelum Dian diuji sakit, suaminya dulu juga pernah mengalami cobaan
dan sempat down. Saat itu Eko percaya bahwa setiap orang memiliki ujian yang
sudah ditentukan oleh Alloh. Tidak mungkin Alloh memberikan ujian diluar batas
kemampuannya. Karena Eko sudah pernah mengalami ujian sebelumnya, ketika Dian
yang mengalami, satu-satunya yang bisa dilakukan Eko adalah membuat Dian tetap
kuat. Eko selalu mengatakan kepada Dian bahwa ujian yang Alloh berupa sakit
adalah bagian untuk melebur dosa. Dengan adanya ujian ini, Eko jadi mendapatkan
formulasi tujuan hidup. Semula hidupnya hanya mengalir saja , sekolah, bekerja
dan seterusnya. Dengan sakitnya Dian, menjadikan Eko memperoleh kesempatan
untuk belajar agama. Presiden Direktur PT. Fortis Investment ini merasa
beryukur dititipi Dian sebagai istrinya karena melalui Dian hidupnya jadi
terarah.
Di tengah perawatan penyakitnya Dian
sempat berbagi dengan sesama penderita lupus di bawah payung SDF (Syamsi Dhuha
Foundation). Ini merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Dengan banyak
memberi, secara otomatis kita akan banyak menerima. Dengan mendirikan yayasan
itu Dian memiliki keluarga baru, yang dulunya tidak dikenal sekarang menjadi
keluarga besarnya. SDF dengan slogannya “Care for Lupus, Your Caring Saves
Lives” memberi bantuan kepada para penderita lupus dan low vision. SDF memiliki
dua divisi yaitu Care for Lupus (CFL) dan Care for Low Vision (CFLV). SDF telah
mengembangkan sayapnya hingga ke luar negeri. Kini lupusnya terkendali,
penglihatannya mengalami kemajuan, dari sisa penglihatan 5%, sekarang sudah
bertambah 15%. Padahal sebelumnya dokter sudah memvonis tidak ada harapan,
karena syaraf pusat penglihatannya rusak.
Ia juga berkarya dengan
membuat sebuah buku yang bertajuk “Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan”.
Buku yang ditulis oleh suaminya itu terinspirasi dari pengalam hidup Dian menghadapi
kejamnya penyakit lupus. Dengan menerbitkan buku ini Dian berharap para odapus
dan masyarakat mampu mengetahui seluk beluk penyakit lupus yang hingga kini
belum ada obatnya. Para odapus yang sedang berjuang melawan lupus perlu
perhatian lebih. Terlebih biaya pengobatan lupus tidaklah murah. Biaya
pengobatan Dian kira-kira dalam sebulan Rp 600.000 bahkan sempat memerlukan
dana Rp 1,3 juta per minggu hanya untuk pembelian obat. Bagaimana nasib odapus
dari kalangan kurang mampu dalam menghadapinya sedang mereka harus bergantung
pada obat. Atas dasar itulah Dian memiliki kepedulian dan mendorong untuk
mendirikan Yayasan Syamsi Dhuha pada tahun 2004 di Bandung.
Dian mendirikan yayasan
ini setelah kondisinya normal meski masih selalu berobat. Tempat tinggalnya
secara sukarela dijadikan sebagai kantor Yayasan Syamsi Dhuha di Jalan Sekeloa
Selatan II Nomor 2B, Komplek Unpad, Bandung. Empat bidang titik fokus Syamsi
Dhuha Foundation (SDF) adalah edukasi, sosialisasi, pendampingan dan
penelitian. Dalam bidang pendidikan juga memberikan pelatihan bahasa asing,
beasiswa. Pelatihan kepada para penyandang low vision untuk bisa
mengakses teknologi.
SDF juga mendorong
penelitian ilmiah bekerjasama dengan institusi pendidikan nasional di kota
Bandung. Dilakukan penelitian tanaman yang bisa menjadi suplemen terapi lupus.
Selama ini kebanyakan penelitian yang digali ntuk meningkatkan imunitas padahal
untuk penyandang lupus / odapus yang dibutuhkan adalah menekan imunitas yang
berlebihan. SDF juga mengupayakan obat murah terutama kepada mereka yang kurang
mampu. Karena banyak obat impor yang harganya mahal sehingga para odapus tidak
dapat berobat. SDF membantu menyelamatkan jiwa dan meningkatkan kualitas hidup.
Hikmah di balik Ujian
Sebelum Dian menderita
sakit, hidupnya mengalir, semua berjalan dengan lancar tanpa kesulitan yang
berarti. Hidupnya dihiasi dengan nuansa keindahan, mulai dari kecil, sekolah,
kuliah, bekerja dan menikah. Dian mengakui di tengah kesibukan dunia, ia sempat
melalaikan dari kewajibannya beribadah kepada Alloh SWT. Shalat sering
dijalaninya sebagai sisa waktu, bahkan karena saking sibuknya terlewat begitu
saja. Lupus menjadikan Dian selalu mensyukuri apapun keadaannya. Kalau semua
hal tak memuaskan dianggap masalah, maka hidup tidak akan dijalani dengan rasa
syukur dan puas.
Bagi Dian ujian sakit ini
merupakan kasih sayang Alloh SWT untuk kembali mengingatNya. Menyadarkan akan
tujuan hidup yang sebenarnya. Dian semakin akrab dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
terutama yang berkenaan langsung dengan masalah hidupnya. Seperti dalam Q.S. Al Baqarah 2: 153, “Hai
orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar”. Atau Q.S Al Insyirah,
94:5 “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.
Dengan keterbatasan
pernglihatan yang dimiliki memotivasi Dian untuk mengoptimalkan indra
pendengaran, penciuman dan perabaan. Ia mulai menikmati indahnya dengan indra
tersebut. Ketika berada di pantai Dian merasakan suara deburan ombak, bau anyir
ikan laut, pasir di kaki kadang terasa menggelikan. Indra peraba Dian
optimalkan dengan belajar huruf braille, meraba serat baju dan membayangkan
modelnya. Selain itu aset yang cukup penting yaitu pikiran. Melalui pikiran ini
Dian membayangkan apa yang seharusnya terlihat. Satu lagi hikmah dari ujian
Dian adalah lahirnya Syamsi Dhuha Foundation. Mungkin jika Dian tidak menderita
lupus yayasan ini tidak akan pernah ada, Dian sudah berada di puncak karir
perbankan. Dengan adanya yayasan ini menjadi jalan amal sholeh Dian membantu
para penderita lupus.
No comments:
Post a Comment