• GOEDANG BIOGRAFI

    Tuesday, June 7, 2016

    Mereka Diberi Kesempatan Kedua: Dian Syarief, Perjuangan Hidup Melawan penyakit Lupus



    Mereka Diberi Kesempatan Kedua: Dian Syarief, Perjuangan Hidup Melawan penyakit Lupus



                 Dian Syarief, mungkin beberapa dari kita sudah tidak asing dengan nama ini. Banyak media yang memberitakan perjuangan beliau dalam melawan penyakit lupus. Tak banyak yang tahu tentang lupus. Bagi penulis mendengar penyakit lupus pertama kali saat teman kuliah kakak meninggal dunia karena sakit lupus, yang katanya belum ada obatnya. Dari sekian penderita lupus, kisah perjuangan Dian Syarief yang disampaikan sekaligus beliau sebagai pioner berdirinya yayasan lupus yang bernama Syamsi Dhuha Foundation.
                Wanita kelahiran kota kembang, Bandung 21 Desember 1965 ini, semasa kecil kehidupannya seperti halnya anak-anak sebayanya. Ia tumbuh dan besar menjadi anak periang. Sang ayah Prof. Dr. Dr. Rudy Syarief merupakan seorang dokter. Ternyata tidak hanya ayahnya yang berprofesi sebagai dokter. Ibunya dr. Oemmy R Syarief MMBAT juga seorang dokter. Profesi dokter juga menularkan kepada anak-anaknya. termasuk adik-adik Dian. Semasa kecil dan remaja, Dian terkenal sebagai anak cerdas. Tak heran jika selepas lulus SMA, ia melanjutkan studi di kampus favorit di Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan jurusan farmasi.
                Tetapi setelah lulus dari kuliah, ternyata karirnya tidak sesuai latar belakang pendidikannya yaitu farmasi. Setahun setelah lulus dari ITB, tepatnya pada tahun 1990, Dian mulai merintis karir di Bank Bali atau sekarang disebut sebagai Bank Permata. Ia pun pindah ke Jakarta untuk meniti karir. Ia sempat mengenyam kesuksesan dengan menjabat sebagai Public Relation (PR) manajer Bank Bali. Sehingga wajahnya mungkin sudah tidak asing lagi bagi kalangan wartawan ekonomi dan perbankan. Jabatannya sebagai Public Relation membuat dirinya cukup intens berkomunikasi dengan para jurnalis. Terlebih ketika hantaman krisis perbankan tahun 1998 – 1999. Bahkan hingga kini Dian masih ingat siapa sejumlah nama wartawan yang bertugas di bagian ekonomi-perbankan menjelang akhir dekade tahun 1990 an. Saat itu Dian sedang sibuk-sibuknya, harus membuat press release, menyiapkan jumpa pers hingga membantah kabar yang tak benar.
                Pada tahun 1990 dia menerima pinangan seorang pria dari teman sekampusnya Eko Priyo Pratomo.  Setelah menikah, kehidupan baru yang diharapkan akan menghadirkan kebahagiaan. Karirnya yang bagus dan memiliki pendamping hidup seakan bahtera rumah tangga begitu indah melengkapi hidupnya. Awalnya Dian Syarif hidup normal dan bahagia bersama suami dan keluarganya. Tanpa ada pertanda sebelumnya, setelah hampir 9 tahun berkarir di Bank Bali dan menjalani mahligai rumah tangga cobaan pun datang. Hidup penuh misteri, manusia tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok. Apakah ajal menjemput  atau tiba-tiba sakit sehingga kehidupannya berubah drastis.
                Perempuan yang penuh energik dan aktif ini tidak pernah mengalami sakit serius. Di tahun 1999 tiba-tiba lupus datang menghampiri.  Ia tidak menyangka akan bergelut dengan penyakit autoimun yang konon harus mengkonsumsi obat seumur hidup. Gejala awal terdapat ruam / bintik merah di lengan dan kaki karena trombositnya drop. Semula ia tidak mempedulikan karena dikiranya penyakit kulit biasa. Tapi begitu dokter menyatakan Dian harus cek darah. Pikirannya mulai berkecamuk. Dari hasil cek laboratorium trombositnya menurun drastis tinggal 10 persen  atau 30.000 padahal untuk kondisi tubuh yang normal kadar trombositnya antara 150 ribu – 200 ribu. Selain ada kelainan darah Dian juga ada gangguan sendi. Tapi saat itu Dian merasa sehat cuma sedikit merasa lemas seperti halnya orang kecapaian.
               
                Semula Dian diduga terkena demam berdarah. Dia pun masuk rumah sakit. Pada keesokan harinya sum-sum tulang belakangnya diambil untuk dilakukan pengecekan tulang. Setelah itu baru ketahuan bahwa Dian tidak menderita demam berdarah melainkan lupus. Untuk menaikkan kadar trombosit dalam darahnya, Dian harus mengkonsumsi tablet sejenis steroid sebanyak 20 butir sehari. Dan ternyata obat ini memberikan efek samping yakni kulit Dian semakin keriput seperti nenek-nenek, di bibir tumbuh sariawan parah, kaki mengecil seperti belalang dan mukanya bulat (moon face). Seiring diturunkannya dosis, mukanya akan kembali normal. Ia kerap mengalami kejang-kejang. Kejang terjadi ketika terkena abses otak. Tapi ketika semua teratasi tidak terjadi kejang. Sekarang sudah jarang kejang.
    Setelah bedah otak di kepala dipasang selang yang mengalirkan cairan otak ke rongga perut. Kadangkala ada gangguan ketika selang macet dan harus dibongkar dan dipasang lagi. Kali ini penglihatannya mulai terganggu . Kemampuan penglihatannya tinggal lima persen saja. Awal-awal terpukul ketika hilang penglihatan. Terjadi penurunan sedikit demi sedikit.
    Kisah mengenai hilangnya penglihatan berawal dari pernikahan adik laki-lakinya dr. Achmad Peter Syarief, SpBJ. Waktu itu Dian bersama suaminya Ir. Eko. P Pratomo, MBA  ditugasi untuk membaca Al-qur’an dan saritilawah. Agar tampil optimal, Dian pun barlatih dahulu. Saat membuka terjemah Al-qur’an yang terlihat hanya tulisan yang membayang samar dan tak terbaca. Ia mencoba membuka mata lebih lebar dan dikucek-kucek didekatkan tapi hasil sama tak terlihat. Dian pun mencoba membuka terjemah Al-qur’an yang hurufnya lebih besar, ternyata hasil sama tetap saja tak terbaca.
    Menurutnya kejadian itu hanya kebetulan saja, sehingga ia tetap akan menjalankan tugas sebagai saritilawah. Saat perjalanan menuju lokasi akad nikah, Dian melihat gedung-gedung disekitarnya nampak seperti bayang-bayang tak jelas. Ada sedikit rasa khawatir jika tidak dapat menjalan tugas dengan baik karena terganggu penglihatannya. Tapi keajaiban pun datang, setelah suami selesai membaca Al-qur’an, tiba giliran Dian untuk membaca terjemahannya. Tak dikira ia bisa membaca dengan jelas tulisan terjemah dalam Al-qur’an. Dan membacanya dengan lancar. Begitu selesai membaca, penglihatannya kabur hanya berupa siluet dan bayangan hitam. Dian merasa bersyukur karena terakhir kali yang ia baca adalah Al-qur’an. Setelah itu Dian langsung mencari pelatihan untuk mereka yang mengalami keterbatasan fisik. Pertama kali belajar orientasi mobilitas. Disana dilatih menyeberang jalan, bergerak, melatih kepekaan.
                Dari hari ke hari kondisi fisiknya semakin memburuk, akibatnya sejak Maret 1999 Dian tak mampu bekerja seperti semula. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjalani pengobatan. Dian sudah menjalani 17 operasi baik di dalam maupun di luar negeri. Di RS Mount Elisabeth, Singapura dalam kurun waktu sebulan ia sudah menjalani 6 kali operasi tempurung otak. Infeksi yang menimpa otaknya sudah menjalar kemana-mana. Tempurung kepalanya dibongkar pasang hingga tak lagi rata karena sudah dipasangi slang.  Dian menjalani pemasangan VP Shunt (ventriculoperitoneal shunt) semacam slang dari bagian otak ke rongga perut untuk memperlancar sirkulasi cairan otak. Kondisi Dian perlahan-lahan mulai stabil, bahkan pada tahun 2000 Dian sempat menunaikan ibadah haji dengan menggunakan kursi roda. Namun dua tahun kemudian kondisi fisik Dian kembali labil, ia keluar masuk rumah sakit.
                Tahun 2002 berdasar hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging) VP Shunt tidak berfungsi. Akibatnya Dian merasa pusing dan mual. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit Singapura guna pergantian slang. Namun sayang pemasangan VP Shunt di Singapura tidak berfungsi dengan baik. Dian harus kembali ke meja operasi untuk pemasangan ulang VP Shunt di rumah sakit swasta di Jakarta. Di sela itu, Dian juga mengalami pendarahan hebat akibat siklus menstruasi yang tidak teratur. Pernah Dian tidak mengalami menstruasi selama lima bulan berturut-turut dan penebalan dinding rahim. Menurut Dian akibat mengkonsumsi tablet sejenis steroid berpengaruh pada keseimbangan hormonal yang bermuara pada siklus yang tidak teratur, penebalan dinding rahim dan pendarahan hebat. 
    Akibat dari penyakit lupusnya satu demi satu bagian tubuhnya mengalami efek buruk dari penyakit tersebut. Salah satunya rahim yang merupakan bagian penting bagi wanita. Tahun 2004 terpaksa Dian harus merelakan rahimnya untuk diangkat karena terjadi pendarahan terus menerus demi keselamatan jiwanya. Tentu ini merupakan pukulan berat bagi Dian karena tidak bisa menghadirkan keturunan. Tak mampu menghadirkan buah hati, tentunya menimbulkan kekhawatiran Dian kalau suaminya Eko Pratomo akan berpaling darinya. Tapi beruntung Dian memiliki suami yang setia. Bagi Eko, Dian adalah ladang amal baginya. Presiden PT Fortis Investment merasa bersyukur karena dititipi Dian sebagai istrinya, sehingga tujuan hidupnya menjadi lebih terarah.
     Pasca pengangkatan rahim memang menjadi kesedihan bagi Dian. Tetesan air matanya tak bisa dibendung pasca siuman operasi. Harapan akan kehadiran anak semenjak awal pernikahan pupus sudah. Dian hanya terdiam semua sudah ada yang mengatur, Dian hanya berharap semoga ini merupakan operasi yang terakhir kalinya. Ia pun segera menanyakan kepada suami apakah berniat menikah lagi? tapi sang suami tak terpikir menikah lagi. Padahal saat itu, Dian sudah merelakan jika suaminya akan menikah lagi agar memperoleh keturunan. Tetapi sebagai suami Eko tetap setia mendampingi Dian dalam berjuang melawan penyakit lupus yang kapan saja bisa menggerogoti tubuhnya. Setelah selesai pengangkatan rahim, suaminya malah memberikan selamat karena telah melahirkan si uterina / rahim. Ungkapan-ungkapan seperti ini membuat hati Dian terhibur.
    Menurut Dian kalau saja tujuan menikah hanya untuk mendapatkan keturunan, mungkin sekarang sudah bubar. Dalam pernikahan hal yang penting adalah toleransi, keterbukaan, komunikasi dan tentu saja cinta. Kekuatan cinta dapat menimbulkan keajaiban, mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, bisa menjadi sumber energi, menimbulkan semangat hidup. Selain suami yang berperan besar mensupport Dian adalah ibu kandungnya. Ada satu kalimat penyemangat yang masih teriang dibenaknya saat Dian harus menghadapi menurunnya fungsi penglihatan. Jika matanya tidak bisa digunakan lagi, kelak fungsinya akan digunakan oleh yang lain. Bisa oleh telinga, hidung, kulit, rambut, perasaan dan sebagainya.
                Pengalaman hidupnya memberikan banyak inspirasi bagi odapus-odapus (sebutan penderita lupus) lainnya dan masyarakat awam. Dari penyakit berkepanjangan dan hilangnya satu indra penting ini merupakan kasih sayang Alloh kepada hambanya agar kembali ke jalan yang benar. Dengan cobaan ini Dian tersadar akan tujuan hidup sebenarnya. Masa-masa sulit yang dilaluinya ia bersyukur itu merupakan peluang yang Alloh berikan agar dirinya bisa “naik kelas”. Semasa sakit membuat Dian semakin mendekatkan diri kepada Alloh. Meski sedang sakit, Dian masih bisa menyempatkan diri untuk pergi ke Tanah Suci. Dalam menjalani pengobatan ia selalu menyerahkan hasilnya kepada Sang Pencipta. Di saat kondisi kritis Dian percaya selalu ditemani Alloh dengan cara berdzikir. Ia percaya dengan berdzikir dan menjalani perintahnya menjadi bekal jika ia kembali kepada-Nya.
                Menurut suami Dian, Eko Priyo Pratomo sebelum Dian diuji sakit, suaminya dulu juga pernah mengalami cobaan dan sempat down. Saat itu Eko percaya bahwa setiap orang memiliki ujian yang sudah ditentukan oleh Alloh. Tidak mungkin Alloh memberikan ujian diluar batas kemampuannya. Karena Eko sudah pernah mengalami ujian sebelumnya, ketika Dian yang mengalami, satu-satunya yang bisa dilakukan Eko adalah membuat Dian tetap kuat. Eko selalu mengatakan kepada Dian bahwa ujian yang Alloh berupa sakit adalah bagian untuk melebur dosa. Dengan adanya ujian ini, Eko jadi mendapatkan formulasi tujuan hidup. Semula hidupnya hanya mengalir saja , sekolah, bekerja dan seterusnya. Dengan sakitnya Dian, menjadikan Eko memperoleh kesempatan untuk belajar agama. Presiden Direktur PT. Fortis Investment ini merasa beryukur dititipi Dian sebagai istrinya karena melalui Dian hidupnya jadi terarah.
                Di tengah perawatan penyakitnya Dian sempat berbagi dengan sesama penderita lupus di bawah payung SDF (Syamsi Dhuha Foundation). Ini merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Dengan banyak memberi, secara otomatis kita akan banyak menerima. Dengan mendirikan yayasan itu Dian memiliki keluarga baru, yang dulunya tidak dikenal sekarang menjadi keluarga besarnya. SDF dengan slogannya “Care for Lupus, Your Caring Saves Lives” memberi bantuan kepada para penderita lupus dan low vision. SDF memiliki dua divisi yaitu Care for Lupus (CFL) dan Care for Low Vision (CFLV). SDF telah mengembangkan sayapnya hingga ke luar negeri. Kini lupusnya terkendali, penglihatannya mengalami kemajuan, dari sisa penglihatan 5%, sekarang sudah bertambah 15%. Padahal sebelumnya dokter sudah memvonis tidak ada harapan, karena syaraf pusat penglihatannya rusak.
    Ia juga berkarya dengan membuat sebuah buku yang bertajuk “Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan”. Buku yang ditulis oleh suaminya itu terinspirasi dari pengalam hidup Dian menghadapi kejamnya penyakit lupus. Dengan menerbitkan buku ini Dian berharap para odapus dan masyarakat mampu mengetahui seluk beluk penyakit lupus yang hingga kini belum ada obatnya. Para odapus yang sedang berjuang melawan lupus perlu perhatian lebih. Terlebih biaya pengobatan lupus tidaklah murah. Biaya pengobatan Dian kira-kira dalam sebulan Rp 600.000 bahkan sempat memerlukan dana Rp 1,3 juta per minggu hanya untuk pembelian obat. Bagaimana nasib odapus dari kalangan kurang mampu dalam menghadapinya sedang mereka harus bergantung pada obat. Atas dasar itulah Dian memiliki kepedulian dan mendorong untuk mendirikan Yayasan Syamsi Dhuha pada tahun 2004 di Bandung.
    Dian mendirikan yayasan ini setelah kondisinya normal meski masih selalu berobat. Tempat tinggalnya secara sukarela dijadikan sebagai kantor Yayasan Syamsi Dhuha di Jalan Sekeloa Selatan II Nomor 2B, Komplek Unpad, Bandung. Empat bidang titik fokus Syamsi Dhuha Foundation (SDF) adalah edukasi, sosialisasi, pendampingan dan penelitian. Dalam bidang pendidikan juga memberikan pelatihan bahasa asing, beasiswa. Pelatihan kepada para penyandang low vision untuk bisa mengakses teknologi.
    SDF juga mendorong penelitian ilmiah bekerjasama dengan institusi pendidikan nasional di kota Bandung. Dilakukan penelitian tanaman yang bisa menjadi suplemen terapi lupus. Selama ini kebanyakan penelitian yang digali ntuk meningkatkan imunitas padahal untuk penyandang lupus / odapus yang dibutuhkan adalah menekan imunitas yang berlebihan. SDF juga mengupayakan obat murah terutama kepada mereka yang kurang mampu. Karena banyak obat impor yang harganya mahal sehingga para odapus tidak dapat berobat. SDF membantu menyelamatkan jiwa dan meningkatkan kualitas hidup.
    Hikmah di balik Ujian
    Sebelum Dian menderita sakit, hidupnya mengalir, semua berjalan dengan lancar tanpa kesulitan yang berarti. Hidupnya dihiasi dengan nuansa keindahan, mulai dari kecil, sekolah, kuliah, bekerja dan menikah. Dian mengakui di tengah kesibukan dunia, ia sempat melalaikan dari kewajibannya beribadah kepada Alloh SWT. Shalat sering dijalaninya sebagai sisa waktu, bahkan karena saking sibuknya terlewat begitu saja. Lupus menjadikan Dian selalu mensyukuri apapun keadaannya. Kalau semua hal tak memuaskan dianggap masalah, maka hidup tidak akan dijalani dengan rasa syukur dan puas.
    Bagi Dian ujian sakit ini merupakan kasih sayang Alloh SWT untuk kembali mengingatNya. Menyadarkan akan tujuan hidup yang sebenarnya. Dian semakin akrab dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang berkenaan langsung dengan masalah hidupnya.  Seperti dalam Q.S. Al Baqarah 2: 153, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar”. Atau Q.S Al Insyirah, 94:5 “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.
    Dengan keterbatasan pernglihatan yang dimiliki memotivasi Dian untuk mengoptimalkan indra pendengaran, penciuman dan perabaan. Ia mulai menikmati indahnya dengan indra tersebut. Ketika berada di pantai Dian merasakan suara deburan ombak, bau anyir ikan laut, pasir di kaki kadang terasa menggelikan. Indra peraba Dian optimalkan dengan belajar huruf braille, meraba serat baju dan membayangkan modelnya. Selain itu aset yang cukup penting yaitu pikiran. Melalui pikiran ini Dian membayangkan apa yang seharusnya terlihat. Satu lagi hikmah dari ujian Dian adalah lahirnya Syamsi Dhuha Foundation. Mungkin jika Dian tidak menderita lupus yayasan ini tidak akan pernah ada, Dian sudah berada di puncak karir perbankan. Dengan adanya yayasan ini menjadi jalan amal sholeh Dian membantu para penderita lupus.

    No comments:

    Post a Comment

    Most Popular

    Featured Post

    Kisah Cinta Habibie-Ainun

    Nama lengkapnya adalah Hasri Ainun Besari, namun kemudian lebih dikenal sebagai Ainun Habibie. Dia adalah perempuan yang selalu ada d...

    Fashion

    Beauty

    Travel