KISAH ISLAMI SUNAN MURIA (Raden Umar Said)
Sunan Muria dimakamkan di Gunung Muria. Meskipun di puncak bukit, namun
makam itu juga sekaligus masjid. Tempat ini bisa dicapai dengan mobil sampai di
Colo, sebuah peristirahatan yang terletak 18 km di utara kota Kudus. Dari Colo
mencapai makam, dihubungkan dengan tangga beton yang ratusan jumlah pijakannya.
Atau melewati jalanan aspal yang hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua.
Semasa hidupnya, Sunan Muria menyebarkan Islam kepada
para penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Muria. Ke utara sampai Laut Jawa,
ke selatan, timur dan barat meneruskan daerah yang telah di Islamkan oleh Sunan
Kalijaga, ayah mertuanya.
Ketika masih kanak-kanak, Sunan Muria bernama Raden
Umar Said. Sebagai anggota Walisongo beliau meneruskan juga kesenian wayang,
gamelan dan tembang-tembang, seperti yang telah dirintis oleh para
pendahulunya, sebagai media dakwah yang memang efektif.
Pada saat Masjid Agung Demak dibangun, beliau ikut.
Tepatnya, masjid dibangun pada tahun 1477 sampai1479. Sunan Muria terhitung
masih belia. Tetapi sudah merupakan tokoh setia yang menyokong dinasti Demak di
saat terjadi perebutan kekuasaan, antar keluarga kerajaan. Dalam hal ini malah
melibatkan juga Sunan Giri, Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Mereka semua
memihak Demak dengan Pangeran Bintoro berikut keturunannya.
Dalam kiprahnya menyebarkan agama Islam, beliau
menguasai daerah Jepara, Tayu, Pati, Juana, Kudus dan daerah-daerah sekitar
Gunung Muria. Dakwah-dakwahnya disiarkanya secara moderat, berdasarkan situasi
dan kondisi ketika itu. Dan cara ini pulalah yang kemudian disebut sebagai
aliran Tuban.
Sunan Muria memang memilki cara sendiri dalam
penyiaran dakwahnya. Masyarakat yang menjadi sasarannya, diberinya ajaran
semacam kursus, dan dibedakan menurut golongannya. Petani, pedagang, nelayan,
dan sebagainya. Semuanya ini untuk memudahkan pendekatan dan pengajarannya.
Sebab dengan inilah lalu menjadi lebih cepat akrab dan merakyat.
Sebagai seniman, beliau telah mewarisi kita tembang kinanti dan sinom sebagai hasil karyanya. Lebih dari itu beliau tidak
secara radikal menyingkirkan tradisi Jawa yang dalam Islam sebenarnya tidak
ada. Misalnya menyelenggarakan selamatan kematian. Menujuh hari, 40 hari, 100
hari dan sebagainya. Hal ini semata-mata untuk menjaga agar mereka tidak merasa
dikurangi adat kebiasaannya. Namun
pelan-pelan agama Islam masuk, berjalan licin tanpa adanya penolakan
apalagi perlawanan.
No comments:
Post a Comment