Al-Kindi
A.
Latar belakang kehidupan dan karya-karya al-Kindi
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn
Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Ia
lahir di Kufah pada tahun 185 H/873 M dari pasangan keluarga kaya dan
terhormat.[1]
Al-Kindi berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar di Jazirah Arab Selatan.
Kakek buyutnya, al-Ash’ats ibn Qais, setelah masuk Islam merupakan salah satu
sahabat Nabi Saw yang gugur bersama Sa`ad ibn Abi Waqqas dalam perang jihad
antara Kaum Muslimin dengan pasukan Persia di Irak. Sementara ayahnya, Ishaq
al-Shabbah, pernah menjadi Gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi
(775-785 M) dan al-Rasyid (786-809 M). Ayahnya wafat ketika al-Kindi masih
kanak-kanak, namun ia tetap mendapatkan kesempatan menuntut ilmu dengan baik di
Basrah dan Baghdad serta dapat bergaul dengan para pemikir Islam terkenal masa
itu. Kebetulan saat itu Dinasti Abbasiyah sedang mengalami masa-masa kejayaan
dan perkembangan dalam dunia intelektual khususnya paham mu`tazilah.
Selain sebagai filsuf, al-Kindi juga dikenal sebagai seorang penerjemah
yang mahir. Ibn Juljul dalam buku Thabaqat al-Thibba (golongan dokter)
menyebutkan bahwa dalam Islam ada 5 orang penerjemah mahir dan salah satunya
adalah al-Kindi. Adapun 4 orang lainnya adalah Hunain ibn Ishaq, Ya`qub ibn
Ishaq, Tasbit ibn Qurrah, dan Umar ibn Farkhan al-Thabari.
Lingkungan di mana al-Kindi hidup sangat berpengaruh dalam
membentuk kedewasaan intelektualnya. Pada masa al-Kindi hidup, Kufah dan Basrah
(2-3 H/8-9 M) merupakan dua pusat kebudayaan Islam. Al-Kindi melewatkan masa
kanak-kanak di Kufah yang pada saat itu cenderung pada studi-studi aqliah.
Kurikulum yang berlaku pada saat itu bagi anak-anak muslim adalah menghafal alQuran,
mempelajari tata bahasa Arab, kesusteraan, dan ilmu hitung. Setelah itu,
al-Kindi mulai mempelajari disiplin ilmu lainnya, yaitu fikih dan kalam, akan
tetapi dia lebih tertaik pada ilmu pengetahuan dan filsafat, terutama setelah
pindah ke Baghdad. Di kota tersebut, al-Kindi bertemu dengan keluarga dinasti
Abbasiyah, al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan Ahmad ibn al-Mu’tashim. Al-Kindi juga
sempat menjadi guru dari putra al-Mu’tashim, Ahmad al-Mu’tashim.
Di antara cabang keilmuan yang dikuasai al-Kindi dan diakui oleh
dunia hingga saat ini antara lain ilmu kedokteran, aljabar (matematika), ilmu
falak, filsafat, semantik, dan bahasa, geometri, astronomi (planet), farmakologi,
ilmu jiwa, optika, politik, spiritualistik, metafisika, musik, dan bahkan ia
juga dikenal sebagai penulis lagu. Banyak istilah-istilah yang diubah dan
dikembangkan oleh al-Kindi bahkan mendapat perhatian dan masih digunakan oleh
kalangan ilmuan saat ini seperti: Jirm (tubuh) diubah menjadi Jism;
al-tamam (akhir) menjadi al-ghayah; thinah (materi)
menjadi maddah; al-tawahhum (imaginasi) menjadi al-takhayyul;
al-galibiyyah (nafsu birahi) menjadi al-ghadhabiyah; al-quniah
(sifat dan sikap) menjadi al-malakah; dan al-jami`ah (silogisme)
menjadi al-qiyas.
Tidak jauh berbeda dengan para filsuf lainnya, al-Kindi juga merupakan
sosok penulis yang produktif melahirkan banyak karya di berbagai kajian,
sebanyak cabang keilmuan yang dikuasainya. Salah satu pendapat bahkan
menyatakan bahwa selama hidupnya, al-Kindi telah merampungkan sekitar 200
hingga 270 buku dan artikel dalam berbagai bidang ilmu. Karya-karya tersebut
antara lain:
1.
Dalam
bidang filsafat: Al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula,
al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah wa ma
Fawqa al-Thabi’iyyah, Fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘Ilmi
al-Riyadliyyah, Fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat.
2.
Dalam
bidang astronomi: Al-Manazhir Al-Falakiyyah, Mahiyatul Falak, Risalah
Fi Shifatil Istharlab Bil Handasah, Risalah Fi Syuruq Al-Kawakib wa Ghurubiha
bi Al-Handasah, Risalah Fi Shina'ati Bathlimous Al-Falakiyyah, Tanaha Jarmul
‘Alam, Risalah Fi `Ilalil Audha' An-Nujumiyyah.
3.
Dalam
bidang ilmu pengetahuan alam: Ilmu Ar-Ra'di wa Al-Barqi wa Ats-Tsalji wa
Ash-Shawa'iq wa Al-Mathar, Fil Al-Bashariyyat, Risalah Fi Zarqati
As-Sama, Fi Al-Ajraam Al-Ghaishah.
4.
Dalam
bidang kimia dan kimia industri serta ilmu pertambangan: Tanbih Ala Khada'
Al-Kimiya'iyyin, Risalah Fi Anwa' Al-Ma'adin Ats-Tsaminah, Kimiya' Al-Ithr Wat
Tash'idat, Shina'atiz Zujaj, Ma Yudhafu min Madah ala Shina' at As-Suyuf Hatta
Ta'hudz Shalabataha, Al-Jawahir wal Ashbah, Risalah Fi Anwa' i Al-Hijarah,
Shina'at Al-Alwan, Shina' at As-Suyuf.
5.
Dalam
bidang matematika: Mabadi' Al-Hisab, Al-Hisab Al-Handasi, Risalah Fi
Al-Ihtimalat, Fi Isti'mali Al-Hisab Al-Hindi, Al-Hail Al-Adadiyyah Wa Ilmu
Adhmariha, Risalah Fi Al-Qiyasat.
6.
Dalam
bidang Ilmu Geometri: Al-Barahin Al-Masahiyyah, Ishlah Iqlids, Qismah
Ad-Dairah Bi Ats-Tsalatsat Aqsam, Aghradh Kitab Iqlids, Taqsim Al-Mutsallats Wa
Al-Murabba, Risalah Fi Tashthih Al-Kurrah, Kaifa Ta'mal Dairah Musawiyah li
Sathhi Isthiwanah Mafrudhah,
7.
Dalam
bidang Musik: Risalah Fi Al-Iqa, Risalat Al-Madkhal Ila Shina'ati Al-Musiqa,
Risalah Tartib An-Nagham.
8.
Dalam
bidang kedokteran: Ath-Thib Al-Bagruthi, Ath-Thib Ar-Rauhani, Tadbir
Al-Ashihha, Waj'u Al-Maidah wan Naqus,
Ilaj Ath-Thahl, Al-Maut Al-Mufaji, Al-Humayat, Illati Naftsid Dam, Udhdhati
Al-Kalib.
9.
Dalam
bidang Farmasi: Al-Aqrabadzin, Al-Abkhirah, Al-Ghidza' Wa ad-Dawa’, Asyfiyat
as-Samum, Kaifiyyati Ishal ad-Dawa’, dan lain-lain.
Menurut Yakut al-Himawi, al-Kindi wafat setelah berusia 80
tahun atau lebih sedikit. Berdasarkan penelitian dari Mustahfa Abd al-Raziq
(mantan rektor Al-Azhar) dalam buku Failasuf Arab wa al-Muallim Tsani,
al-Kindi wafat sekitar tahun 252 H/866 M.
B.
Pemikiran Filsafat al-Kindi
Al-Kindi dikenal sebagai Filsuf Arab karena dialah
yang pertama kali memakai metode baru dalam mengungkap bidang-bidang
baru. Terdapat sebuah catatan yang menyebutkan bahwa sebelum al-Kindi, ada nama
Iransyahri yang disebut sebagai filsuf.
Al-Kindi dianggap sebagai filsuf pertama dalam sejarah Islam karena ia dianggap
mampu merumuskan apa itu filsafat Islam secara sistematis. Paling tidak ada dua
kontribusi besar yang diberikan al-Kindi kepada filsafat Islam, pertama,
meletakkan dasar pemikiran yang nantinya dikembangkan oleh filsuf-filsuf
setelahnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Kedua, usahanya dalam
menjembatani antara pengetahuan luar (rasional murni) dengan Islam.
Dalam konteks pemikiran filsafat, salah satu agenda yang
diusung al-Kindi adalah upaya untuk memperkenalkan filsafat ke dalam dunia
Islam. Semua ini tak terlepas dari realita kala itu yang menunjukkan bahwa ada banyak
kalangan umat Islam yang masih antipati terhadap filsafat yang berasal dari
peradaban Yunani karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Bagi
al-Kindi, antara agama dan filsafat sebenarnya tidaklah bertentangan, sebab baik
agama maupun filsafat adalah ilmu yang mengulas tentang kebenaran. Di satu
sisi, ilmu filsafat membahas tentang ketuhanan, keesaan-Nya, dan keutamaan
serta membahas apa-apa yang bermanfaat bagi manusia, sementara di sisi yang
lain hal-hal tersebut juga dibawa oleh para rasul Allah yang menetapkan keesaan
Allah dan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Karena alasan itulah al-Kindi juga menantang siapapun yang
tidak senang terhadap filsafat. Menurutnya, jika ada yang orang yang mengatakan
bahwa filsafat itu tidak diperlukan, mereka harus memberikan argumen dan
menjelaskannya. Padahal usaha untuk mengemukakan argumen itu sendiri sejatinya
bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Untuk sampai pada
maksud itu, secara logika, mereka memerlukan pengetahuan filsafat. Jadi kesimpulannya,
filsafat itu harus dimiliki dan dipelajari.
Al-Kindi sendiri mendefinisikan filsafat sebagai sebuah pengetahuan
tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Jadi meskipun al-Kindi
menganjurkan untuk mempelajari filsafat, namun ia tetap menyatakan dengan tegas
bahwa filsafat memiliki keterbatasan karena ia (filsafat) tidak bisa mengatasi
problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Maka—menurut
al-Kindi—fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu
atau untuk menuntut keunggulan atau persamaan dengan wahyu. Dalam semangat ini
pula, seperti yang akan kita lihat, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex
nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, kelahiran dan
kehancuran dunia oleh Tuhan.
Dalam konteks jiwa, al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga:
daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya
berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, al-Kindi membandingkan
ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta
dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik
kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya
jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya
dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah oleh al-Kindi
diibaratkan layaknya anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal
budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Terkait dengan falsafah Metafisika (Ketuhanan) dan Alam
Semesta, al-Kindi menyatakan bahwa alam ini dijadikan Tuhan dari tiada menjadi
ada (creatio ex nihilio) dan sekaligus mengatur dan mengendalikan serta
menjadikan sebagian alam menjadi sebab bagi alam lainnya. Menurut al-Kindi, di
alam semesta ini terdapat benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indera.
Benda-benda ini merupakan bagian dari juz`iyah (partikular) yang tak
terhingga. Setiap benda mempunyai 2 hakekat, yakni hakekat sebagai juz`i
(disebut aniah) dan hakekat sebagai kulli (disebut mahiah),
yaitu hakekat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species.
Namun menurut al-Kindi, bukan juz`iyah yang tak terhingga banyaknya itu
yang penting, melainkan hakekat yang terdapat dalam juz`iyah itu, yang
disebut dengan kulliah (universal).
Bagi al-Kindi, Tuhan tidak memiliki hakekat dalam arti aniah
sebab Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk serta tidak termasuk dalam
benda-benda yang ada di alam: Tuhan adalah Sang Pencipta alam. Tuhan juga tidak
mempunyai hakekat dalam pengertian mahiah sebab Tuhan tidak termasuk
dalam species dan genus. Tuhan adalah wujud yang Mahasempurna dan
tidak didahului oleh wujud lain. Tuhan adalah Unik dan menjadi al-Haq
al-Awwal. Wujud Tuhan tidak pernah berakhir, sedangkan wujud lain ada
karena adanya wujud Tuhan. Tuhan adalah al-Haq al-Wahid Yang Mahaesa
yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyerupai Tuhan dalam
hal apapun. Selain Tuhan, akan mengandung arti banyak dan menjadi bagian dari
golongan species dan genus. Tuhan tidak dilahirkan dan tidak pula
melahirkan.
Berangkat dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gagasan-gagasan
filosofis al-Kindi masuk dalam aliran peripatetik (masya’iyah).
Peripatetisme Islam dibangun atas dasar Aristotelian dan Neo-Platonisme dengan
berbagai revisi dan inovasi. Metode epistemologi peripatetik yaitu demonstrasional
(diskursif-logis). Prosedur untuk pengambilan kesimpulan (silogisme) dari
mempersandingkan dua premis yang telah disepakati sebagai kebenaran dan tidak
perlu lagi dipersoalkan (primary truth). Dari sini kemudian diperoleh
kebenaran-kebenaran yang pada gilirannya, akan menjadi premis-premis baru bagi
silogistik selanjutnya. Dan begitu seterusnya.
[1]
Meski tak ada keterangan pasti tentang tanggal lahir al-Kindi, namun diperkirakan
beliau hidup semasa dengan pemerintahan Daulah Abbasiyah saat dipimpin oleh al-Amin
(809-813 M); al-Ma`mun (813-833 M); al-Mu`tashim (833-842 M); al-Watsiq
(842-847 M); dan al-Mutawakkil (847-861 M).
No comments:
Post a Comment